Senin, 31 Maret 2014

Hening dan Sepi

Aku merindukan Hening dan Sepi, yang terbungkus dalam kediaman ...
Keduanya yang terkadang terlihat menyeramkan dalam waktu-waktu tertentu, terutama dalam gelap dan hujan, kadang-kadang jadi sesuatu yang sangat aku rindukan, terutama ketika sekitarku tiba-tiba berubah menjadi sangat ramai, hingga aku tak lagi dapat mendengar, bahkan suaraku sendiri ....

Karenanya aku merindukan Hening dan Sepi ... Agar aku kembali mendengar apa-apa yang terucap dari hati, apa-apa yang bergumal dalam pikiran, dan apa-apa yang mendesak dalam dada ...

Aku merindukan Hening dan Sepi, sangat merindukannya ...

Dan ketika Hening dan Sepi itu datang kembali padaku, sudah tak ada lagi yang bisa kudengar, dan yang tersisa hanyalah air mata yang entah kapan akan berhenti ...

Sabtu, 13 April 2013

Hujan #2

"Kenapa sakit? kemarin kehujanan? Jas hujannya nggak dipake ya?" Katamu saat kau menjengukku yang sedang terkapar karena demam di kosan.

"Ng.. mungkin faktor kecapekan juga.." Kataku yang entah kenapa tidak berani memandang matamu. Aku menarik selimut lebih tinggi sampai menutupi hidungku. Kamu menggeleng-gelengkan kepalamu sambil berkacak pinggang.

"Ck, kan udah dibilangin jangan terlalu capek, jaga kesehatan, kamu pasti juga jarang makan kan?" Katamu lagi, agak sedikit kesal. Gemas mungkin karena aku terlalu sering mengabaikan nasihatmu. Aku membalikkan badanku, membelakangimu.

"Iya maaf ..." Aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Kepalaku pusing dan sedang tidak bisa berpikir. Dan, sejujurnya, kata-katamu terdengar seperti dengungan, entah kenapa dalam kondisi seperti ini aku tidak lagi bisa memilih dan memilah mana yang harus kudengar dan mana yang tidak harus kudengar.

Kemudian, tiba-tiba kita terdiam.

Kau menghela nafas. Sementara aku berusaha menguatkan mataku untuk tetap bangun, paling tidak menghormati kehadiranmu, sekalipun aku membalikkan badan. Kau menarik kursi dari depan meja belajarku dan duduk di dekat kasurku.

Aku bertahan untuk tetap diam, enggan untuk menanggapi ataupun berkomentar satupun. Kamu pun tetap diam entah kenapa.

Mataku semakin berat, semakin aku mencoba bertahan untuk tetap terjaga, semakin aku ingin tidur. Dan rasa-rasanya aku sudah kalah oleh kondisi badanku yang tidak memungkinkan, meninggalkanmu yang masih duduk di kursiku dalam diam.

Tak berapa lama, didukung oleh keheningan ini, aku pun tertidur. Dalam tidurku, sayup-sayup aku merasakan tanganmu membelai rambutku sembari kau berkata, "Maaf ya, tadi aku sedikit agak emosi, habis kamu dibilangin ngeyel sih, jadi sakit kan ... Selamat tidur, cepet sembuh ya, biar kuliahnya nggak keteteran .."

Setelah itu, lagi-lagi hening yang panjang. Dan saat aku terbangun malam itu, kau sudah pulang, meninggalkan seplastik obat penurun panas dan sebungkus nasi goreng ayam kesukaanku.

Jumat, 12 April 2013

Hujan

"Ini jas hujan, biar nggak basah-basah amat, walaupun sebenarnya juga nggak terlalu berpengaruh" Katamu dengan senyum lebar sembari memberikan jas hujanmu padaku.

Aku menerimanya dalam diam. "Terima kasih" Kataku akhirnya setelah keheningan yang agak lama. Kau tersenyum. "Sip. Aku duluan ya! Hati-hati jangan sampai kehujanan" Katamu yang langsung menerabas hujan. Aku memandangimu sampai kau hilang dibelokkan untuk ke parkiran motor.

Aku terdiam. Dan memang semua ini berkaitan dengan hati. Jujur, aku tak pernah mengerti maksudmu. Tidak pernah benar-benar mengerti. Suatu kali kau membelaku habis-habisan. Suatu kali kau, seperti tadi membantu sampai-sampai kau tidak peduli dengan dirimu yang basah kuyup, padahal ada ujian pekan depan. Dan suatu kali kau membelaiku dengan kata-katamu yang terlalu lembut untuk ukuran seorang teman, bahkan ketika aku ngambek dan memutuskan untuk mendiamkanmu. Tapi suatu kali kau mendiamkanku untuk waktu yang terlampau lama. Dan suatu kali kau marah terhadapku untuk sesuatu yang tidak aku mengerti alasannya.

Lalu aku harus bagaimana menanggapimu? Karena kau tidak pernah benar-benar mengatakannya dengan jelas. Paling tidak, katakanlah aku harus bersikap bagaimana?

Aku berjalan menuju sepedaku. Membuka kuncinya dan menimbang-nimbang jas hujan yang ada di tanganku.

Aaah.. aku tak mau ambil pusing. Kuletakkan jas hujan darimu di keranjang sepedaku. Kemudian aku menerabas hujan.

Bukan, bukan karena itu adalah jas hujan darimu, kalau kau mau tahu. Melainkan aku sedang membutuhkannya, membutuhkan hujan. 

Iya, aku membutuhkan hujan untuk mengguyur masalahku ... agar esok hari ketika aku bertemu denganmu, aku dapat tersenyum seperti biasanya, dan mengabaikan perasaan ini ...


Minggu, 10 Februari 2013

Di Bawah Langit Senja



sumber : http://pdfcast.net/11-langit-senja.html
Ia melangkahkan kakinya keluar kamarnya. Dengan langkah yang anggun, membuat semua mata yang ada di ruangan terpana. Yah, aku tahu, dia memang berubah jadi lebih, em, bagaimana aku menyebutnya?, Ah mungkin anggun. Tidak, tidak, tidak, bahkan semestinya ada kata-kata yang lebih indah dari anggun untuk mendeskripsikannya! Ah iya… dia benar-benar telah menjadi begitu cantik sejak 2 bulan lalu. Sejak ada kejadian itu.
***
2 bulan lalu
“Katanya ia akan menikahiku jika saja aku mau berjanji untuk memakai jilbab dengan konsisten, kalau tidak sekarang ya nanti, setelah menikah” Ujarnya dengan wajah yang sedikit bingung, sedikit merona, sedikit terlihat berpikir, dan sedikit-sedikit lainnya yang membuat wajah cantiknya agak sedikit berkerut.

“Mmm…Terus?” Tanyaku menanggapi dengan bingung.

“’Terus?’ Ini bukan hanya soal ‘terus?’ Brin! Ini soal komitmen dan prinsip hidup!” Ujarnya lagi sambil mengguncang-guncangkan bahuku. Dia memandangku, berusaha melebarkan matanya yang memang sipit. Aku membaca sorot mata ‘minta tolong’ terpancar dari matanya yang sipit.

Aku tertawa kecil, “Maksudku, terus kamu maunya gimana? Menolak menikah? Atau memakai jilbab? Lagian pakai jilbab juga nggak bikin kamu jadi jelek juga kok, Fah…” Aku meliriknya, yang dilirik cuma cemberut sambil melipat tangan di dadanya.

“Bukan itu. Tapi dengan memakai jilbab kita bertanggung jawab untuk senantiasa berbuat baik dan, mm… gimana ya? Kalau aku sih mendeskripsikannya, orang yang pakai jilbab itu orang yang benar-benar baik, dan nggak sering main kemana-mana. Sementara aku masih suka jalan ke mall. Buatku, urusan pakai-memakai jilbab itu bukan pakai jilbab yang Cuma asal lilit di kepala terus baju ala kadarnya. Soalnya itu nonsense buatku, sama aja mereka nggak pakai jilbab. Jadi, buatku kalau harus pakai jilbab ya… yang kayak ustadzah-ustadzah di pengajian contohin gitu Brin”.

Aku tersenyum manggut-manggut. Nah, itu dia tahu teorinya, tapi belum ada aksi. Bathinku.

“Briin~, komentar dong… ”, rajuknya. “Menurutmu gimana? Kamu kan udah pakai jilbab bertahun-tahun tuh…” lanjutnya.

“Menurutku, kamu istikharah dulu, minta Allah mencondongkan hatimu pada kebaikan. Ya?”
Dia terdiam. Mungkin mempertimbangkan saranku, mungkin juga memikirkan hal lain, entahlah, siapa yang tahu isi pikiran orang. Yang jelas, ketika semburat mega merah mulai menghiasi langit senja itu, aku berdo’a untuknya, semoga Allah menguatkan hatinya untuk mulai berhijab.

***
Namanya Nur Afifah, akrab dipanggil Fifah, teman seperjuanganku sejak SMA. Lulus dari SMA yang sama kemudian kuliah di universitas yang sama walaupun berbeda jurusan, lulus di waktu yang sama, dan akhirnya memilih karir di bidang yang sama, guru sekolah dasar. Seminggu yang lalu, usai hujan deras sepanjang siang, seorang pria baik-baik (aku katakan di sini ia adalah pria baik-baik karena wajahnya terlihat baik, dan begitu pula sikapnya) datang melamarnya. Terlepas dari apapun niat si pria untuk melamar Fifah (tentu saja di sampng cinta dan sebagainya), ia mengajukan satu syarat, meminta Fifah untuk berjilbab dengan konsisten.

Entah apa yang dipikirkan Fifah saat itu, yang aku tahu esoknya, setiap hari selama kurang lebih satu minggu, ia mendatangiku. Entah untuk bercerita atau hanya untuk sekadar diam sembari minum teh dan ngemil di sore hari usai kerja.

Suatu ketika dia berkata setalah keheningan yang panjang di antara kami berdua, “Shabrina, kalau orang berjilbab itu mestinya baik dulu ya… kalau orang bejat tiba-tiba pakai kerudung, nanti malah merusak nilai-nilai jilbab itu…”.

Aku tertawa kecil. “Teorinya siapa Fah?”, tanyaku. Dia terdiam, kembali menerawang.
“Fah, orang berjilbab bukan malaikat yang nggak berbuat dosa. Orang berjilbab juga punya hawa nafsu, jadi bisa aja beliau salah, termasuk juga aku. Yang membedakan orang berjilbab yang syar’i dengan yang tidak berjilbab adalah bahwa ia selalu berusaha menjadi lebih baik lagi dan lagi dengan selalu berbuat baik dan menghindari hal-hal yang buruk…”

“Selalu berusaha menjadi lebih baik…” gumamnya, berusaha memaknai kalimatku barusan.

“Dan, setiap orang punya kewajiban untuk menutup aurat, baik orang bejat ataupun orang berhati mulia-kalau kamu bilang… Kalau orang bejat nunggu baik dulu untuk pakai jilbab ya Fah… ya kapan makainya? Hidayah tuh nggak datang begitu aja, tapi perlu dijemput pakai usaha. Sama kayak jodoh Fah, jodoh di tangan Allah emang, tapi ya kalau nggak dijemput pakai usaha yaa bakalan tetap ada di tangan Allah … iya nggak? “

“Apa sih Briiiiin …” rajuknya, kemudian kita sama-sama tertawa. Ya Allah… betapa aku menyayangi Fifah, saudari seperjuanganku, maka Ya Allah … condongkanlah hatinya ke arah yang baik, kuatkan hantinya untuk berhijab.  

Langit senja itu sedikit tercampur warna keunguan, membuatnya menjadi lebih manis. Dan di bawah langit ungu itu, kami berpisah untuk hari itu, mengakhiri obrolan kami dengan senyum. Maka, semoga urusan ini bisa diakhiri dengan senyuman juga.

***
Sore itu (Aah iya, entah mengapa obrolan-obrolan ini selalu terjadi ketika petang menjelang), Fifah berkunjung ke rumah. Mau menginap katanya. Aah iya betul, esok adalah hari dimana ia harus mengambil keputusan besar yang akan mengubah hidupnya ke depannya. Menerima lamaran, atau menolaknya.

“Brin, tapi, dosa nggak sih aku kalau aku pakai jilbab karena suami, bukan karena Allah?” Tanyanya tiba-tiba saat aku kembali ke kamar dengan dua gelas teh hangat dan dua toples camilan.

“Mmmm… begini, adakalanya kita butuh keterpaksaan untuk memaksa kita untuk melakukan hal-hal yang sudah seharusnya menjadi kewajiban kita. Mungkin awalnya terpaksa, tapi, kalau dibiasakan nantinya akan menjadi sesuatu yang mendarah daging, dan jika itu adalah hal yang baik, Insya Allah, Allah akan menyelipkan keikhlasan di dalam hati kita. Sama aja kayak sholat 5 waktu. Dulu, kamu bisa rutin shalat 5 waktu gimana?”

“Disuruh-suruh terus sama Bapak Ibu. Apalagi waktu shubuh, ada kali dibangunin sampai 3-4 kali …”

“Terus sekarang?”

“Sekarang… ya nggak perlu disuruh lagi, juga kalau ninggalin shalat rasanya ada yang salah…” jawabnya hampir bergumam. Aku tersenyum.

“Yah… kurang lebih kayak gitu lah Fah…, oh iya, lagian menaati suami itu kewajiban Fah… ibadah juga. Jadi kalau kamu menaati suami kamu untuk hal-hal yang baik sekalipun itu hal kecil, Insya Allah berpahala… hehehehehehehe”

“Ooh gituu??” ujarnya dengan mata membulat. Obrolan sore itu terputus oleh adzan maghrib yang berkumandang lantang dari masjid di ujung jalan. Dan lagi-lagi langit keunguan yang tampak di atas sana. Langit yang indah ini, semoga menjadi pertanda bagi keputusan yang indah pula.

 ***

Sekitar pukul 3 sore esok harinya, Fifah pamit. Ia hendak membantu ibunya untuk mempersiapkan tamu yang akan datang menagih jawabannya nanti malam. Sebelum pulang, ia merangkulku erat, “Shabrina, terima kasih telah menguatkanku… Aku memutuskan untuk berjilbab…”

Seketika, ada gelegar kuat yang memenuhi rongga dada, berpilin, menggedor-gedor jiwa yang akhirnya memaksa keluar sejumlah air mata. Air mata bahagia… “Allahu Akbaaar…” takbirku hampir berteriak. Aku balik memeluknya, “Semoga istiqomah ya, Fah…” ucapku berkali-kali.

“Amiiinn” dan perpisahan sore itu cukup berlumuran air mata. Ya… Allah, terima kasih, terima kasih karena telah mendengar doaku, mengabulkannya, dan menguatkan hati Fifah untuk berhijab. Maka doaku kali ini, istiqomahkanlah ia, Ya Allah…

***

2 bulan setelah obrolan-obrolan panjang kami yang juga diselingi dengan keheningan yang tak kalah panjang, pernikahan Fifah dilaksanakan dengan meriah di rumahnya. Dan lihatlah betapa ia terlihat anggun dalam balutan hijab yang kini melingkupi tubuhnya. Tidak, tidak, tidak, bahkan semestinya ada kata-kata yang lebih indah dari anggun untuk mendeskripsikannya! Ah iya… dia benar-benar telah menjadi begitu cantik.

Aku tersenyum ketika mata kami saling berpandangan. “Selamat ya, Fah. Semoga menjadi keluarga yang sakinah…” ujarku.

Seketika itu pula, Fifah memelukku erat. “Terima kasih ya brin, terima kasih… terima kasih untuk semuanya” dan lagi-lagi air mata mengalir dari mata kami. Air mata bahagia mungkin, sedih juga mungkin. Entahlah, karena sesungguhnya ada kebahagiaan bersama kesedihan ada kesedihan bersama kebahagiaan. Karena keduanya saling melengkapi, sebagaimana Fifah dan suaminya. Dan kini doaku, Ya Allah, semoga keduanya bahagia…

Langit senja saat itu terlihat sangat, sangat indah. Dengan semburat mega merah, bercampur warna ungu, bercampur warna biru… dan warna indah lainnya. Ya, dan langit senja itulah yang telah menjadi saksi dari proses Fifah untuk berhijab. Dan semoga Allah menguatkan hati saudari-saudariku lainnya yang belum berhijab untuk berhijab… Amiiin…

Depok, Jawa Barat, 11 Februari 2013 pukul 1.20 WIB
A campaign for World Hijab Day, February, 14th

Selasa, 06 September 2011

Surat Buat Dinda


Surakarta, Sabtu, 1 Agustus 2009
Untuk Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Bagaimana kabarmu, Dinda? Sebenarnya, aku agak bingung untuk menulis surat. Yah-jujur saja, ini pertama kalinya aku menulis surat, tentunya selain untuk tugas bahasa Indonesia dulu… (>.<). Dan, maaf saja kalau bahasanya agak kaku. Aku bingung, apakah aku harus pakai bahasa yang formal seperti tugas bahasaku atau bahasa yang aku gunakan sehari-hari?  Setelah corat-coret di atas kertas buku gambarku, akhirnya, aku memutuskan untuk menulis apa adanya, membiarkan tanganku bergerak terus mengikuti keinginan rasanya lebih pas, daripada aku membingungkan masalah ‘menggunakan bahasa kaku atau tidak’.
Yah, aku agak kaget juga dengan permintaan ‘surat-menyurat’ ini darimu.  Apa aku mengganggumu dengan telpon-telponku ke rumah barumu di Jakarta sana? Tapi, aku setuju denganmu, kalau dengan surat, kita bisa membacanya berkali-kali, menyimpannya, atau bahkan memajangnya di kamar… (siapa pula yang akan memajangnya, Din? Aku bahkan tak yakin kau akan melakukannya…). Jadi, aku setuju saat kau mengajakku untuk melakukan ‘korespondensi’. Begitu kan?
Lalu, bagaimana Jakarta sana? Panaskah? Lebih panas mana, Din, dengan Solo? Macetkah seperti yang diberitakan di TV? Aaah… senang sekali, Din, kau bisa ke Jakarta. Apa kau sudah mampir ke tempat-tempat wisatanya? Ke Dufan, Ragunan, Taman Safari, Taman Mini, dan semua yang kau sebutkan dulu itu, Din? Jika kau sudah pergi ke sana, ceritakan padaku dengan lengkap! Bagaimana suasananya, ramaikah, atau mahalkah? Apa sajalah! Supaya aku bisa membayangkan dan punya motivasi juga untuk pergi ke Jakarta sana. Menyusulmu untuk bersekolah di sana.
Ah... iya! Ngomong-ngomong tentang sekolah, bagaimana sekolahmu? Apakah seperti yang kau bicarakan? Perpustakaan yang besar dengan koleksi buku yang lengkap seperti yang kau impikan? Belajar dengan menggunakan komputer, internet, atau apalah namanya itu! Laboratorium dengan alat-alat kimia, biologi, dan fisika yang lengkap? Sudahkah kau dapatkan itu semua, Din? (Lagi-lagi) aku minta ceritamu, Din! Biar aku juga merasakan kebahagiaanmu di Jakarta sana, Din!
Lalu, bagaimana teman-temanmu? Sudahkah kau dapatkan teman yang baik sepertiku? (^_^) Atau yang cerewet seperti Laksmi dan Risa. Yang bandel seperti Oki dan gengnya. Yang ramah seperti Ella, Rahmi, Yanti. Yang pintar seperti Angga, Anin, dan lainnya…! Apa kau dapat teman yang baik, Din?
Ah… maaf ya, rasanya, aku terlalu menghujanimu dengan pertanyaa-pertanyaan. Tapi, aku benar-benar ingin tahu bagaimana keadaanmu di Jakarta sana, Din…Jadi, bagaimana kalau kita bertukar cerita? Seiring dengan berjalannya waktu, pasti akan ada banyak hal yang bisa diceritakan. Iya kan, Dinda? Aku juga akan terus mengirim kabarku dan teman-teman di Solo sini.
Mmmm… mungkin, sekian dulu surat pertamaku, Din…(akhirnya, bisa juga aku menulis surat, awalnya aku agak sedikit ragu dengan kemampuanku menulis). Aku tunggu kabarmu berikutnya, Dinda..
Wassalamu’alaikum wr. wb
Teman sebangkumu
ASena
A.Sena
***
Surakarta, Rabu, 8 September 2009
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Apa kabar Jakarta? Baik-baik sajakah? Hei, Din, aku belum menerima surat balasanmu… Padahal kau yang mengusulkan untuk surat-menyurat. Lagi sibuk ya? Yah-kalau di sekolahku si sekarang sedang mid semester… (surat ini juga kubuat saat selesai mengerjakan soal biologi ^_^). Tadinya, aku mau menunggu sampai selesai mid. Tapi, karena tak sabar untuk menceritakan keadaan di sini, tanpa sadar aku sudah menulis panjang kali lebar kali tinggi untukmu…
 Ini sudah memasuk hari ke-13 puasa. Kau tahu, Din? Tepat sehari sebelum puasa, sekolah kami mengadakan pawai keliling Solo! Bayangkan keliling Solo! Sebagian menggunakan sepeda, sebagian lainnya menggunakan sepeda motor, dan yang lainnya berjalan kaki, sesuai hasil kocokan per kelas. Sembari membagikan jadwal imsakiyah Ramadhan dan sedikit stiker bertuliskan “Sambut Ramadhan, Tingkatkan Taqwa” yang didesain oleh Heru dan dicetak di tempat yang sama dengan saat kita mencetak buku tahunan dulu saat SMP. Tak lupa spanduk-spanduk yang bertuliskan sama dengan stikernya kami usung tinggi-tinggi di atas kepala. Dan bagi yang berkendara membawa bendera yang diikatkan di sepeda atau motornya.
Pawai tersebut dimulai pukul 7 pagi dan selesai pukul 4 lebih sedikit. Saat itu, kami sempat beristirahat untuk shalat dzhuhur dan makan siang di keraton lho! Ah seru sekali lho, Din! Coba kau ada di sana! Eh tapi kami nggak Cuma jalan dan bagi-bagi stiker atau jadwal imsakiyah, kami memakai kostum sesuai dengan kesepakatan sekelas, kalau kata Pak Sugeng, kepala sekolah kami, “Guna menunjukkan kekreativitasan siswa-siswi….dan bla…bla…bla…” (entah, panjang sekali pidato Pak Sugeng saat itu).
Kelasku, kelas X-1, atas ide Akbar, teman sebangkuku sekarang, kami sepakat untuk menggunakan kostum-kostum bertemakan ‘kera sakti’ (kau pasti tahukan cerita si kera sakti yang mencari kitab suci?). Aku di sini berperan menjadi biksu, tentu saja atas hasil kocokan. Yang menjadi kera saktinya, kau tahu siapa? Kau pasti tidak akan menduga! Angga, si kutu buku itu yang jadi kera sakti! Teman kita satu kelas dulu, Din! Walaupun awalnya kami agak ragu, tapi toh, ternyata Angga bisa memerankan kera sakti dengan baik selama pawai. Kalau kau melihat aksi Angga saat pawai, kau pasti tertawa terpingkal-pingkal, Din!
Lalu, Ayu, Nana, dan Intan menjadi tiga serangkai siluman laba-laba. Mereka berjalan miring-miring sepanjang pawai, sampai-sampai hampir menabrak Angga, dan aku! Pokoknya seru, deh, Din! Eh, tapi ini bukannya aku mengompori kamu untuk kembali ke Solo lho, Din! Hanya bercerita saja… Kau pasti bisa membayangkannya…
Kemudian, hari Sabtu lalu, kelasku mengadakan buka puasa bersama di Masja alias Masakan Jawa, yang kita kenal dengan nama ‘Rumah Makan Taman Sari’. Kami mengambil lokasi di Masja yang berada di jalan Selamet Riyadi, tempat kita dulu merayakan ulang tahunmu yang ke-15, Din. Kau ingatkan?
Hei, tanggal 22 nanti, sekolah kami sudah mulai libur. Bagaimana dengan sekolahmu? Libur lebaran ini apakah kau akan mampir ke Solo, Din? Kalau kau mampir Solo, jangan lupa main ke rumahku ya! Masih ingatkan?
Ok. Kurasa itu sedikit hal yang bisa kuceritakan, Din. Sekarang giliranmu becerita! Aku menunggu…!
Wassalamu’alaikum wr. wb
Teman sebangkumu
ASena
A.Sena
 ***
Surakarta, Selasa, 24 September 2009
Teruntuk Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Hai! Hai! Hai, Din! Bagaimana kabarmu di Jakarta sana? Sehatkah? Oh ya…Walaupun sudah agak telat, tapi rasanya ada yang kurang kalau aku belum mengucapkannya, “Selamat Idul Fitri ya… Mohon maaf lahir dan bathin.” Maaf banget, Din, kalau-kalau aku sering salah ucap, salah kata di surat-surat yang sudah aku kirim, salah sikap, dan salah-salah lainnya. Kamu mau kan maafin aku?
Sekolah baru akan dimulai hari Senin minggu depan, jadi saat ini aku masih dalam tenggat waktu liburan. Bagaimana denganmu? Hei, kau tidak mampir ke Solo, Din! Suratku juga belum kau balas! Sesibuk itukah dirimu di Jakarta sana? Apakah sekolah di  Jakarta banyak menuntut waktumu, Din? Tak apa-apa kalau kau mau memaksimalkan waktumu di Jakarta sana untuk belajar, tapi, ingat juga kesehatanmu, Din. Kau kan sering sekali jatuh sakit! Hati-hati juga dengan penyakit thypus-mu… Kata Dokter Mila, dokter di sekolahku, typhus (eh, bagaimana ya tulisan yang benarnya? Typhus atau thypus?  Atau malah tipes? Yah… pokoknya gitulah! =,=”) bisa kambuh sewaktu-waktu. Pokoknya, Jaga Kesehatan, Din! OK?
Lebaran kali ini, di RT kita mengadakan halal bi halal akbar di lapangan lokasi sholat ied. Di sana, setiap rumah membawa minimal satu hidangan untuk nantinya dimakan bersama-sama di lapangan itu. Keluargaku membawa hidangan sambal goreng tumpang dan sate ayam. Eh, ternyata tidak hanya keluargaku yang membawa sate ayam, tapi itu justru membuat hidangan sate dalam jumlah yang banyak. Kemudian ada juga yang membawa opor ayam, sambala goreng krecek, bahkan ada sejumlah rumah yang membawa nasi tumpeng! Ya ampun… lebaran kali ini benar-benar makan besar deh, Din! Haaaaaahhh… kenyaaaaaannnngggg!!
Ah, ada yang terlewat! Saat malam takbirannya, walikota Solo mengadakan lomba takbiran keliling. Dan, coba tebak! Sekolah kami mendapat juara 2! Walaupun persiapannya mendadak, dan hampir batal ikut, namun berkat kegigihan Pak Sunaryo, guru Agama kami, akhirnya jadi juga kami ikut lomba takbir keliling itu. Dan yang tidak disangka adalah kami mendapat juara 2 itu!
Padahal sebelumnya, beberapa senior, seperti Kak Agung dan Kak Tyar sudah hampir putus asa. Dan atas komando Pak Sunaryo, kami terburu-buru mencari mobil bak terbuka untuk membawa kami takbiran keliling kota. Terburu-buru meminta tolong Rohis putri dan beberapa anak-anak sekolah kami yang tidak kemana-mana untuk menghias mobil tersebut. Terburu-buru mencari bermacam-macam alat yang bisa dibunyikan untuk takbiran, mulai dari piring, galon, garpu, sendok, tong, rebana, sampai gitar dan biola! Dan smeuanya kami kerjakan dalam waktu satu hari! Wow! Benar-benar nggak terkira deh!
Lalu, bagaimana dengan lebaran di Jakarta, Din? Kamu sholat ied dimana? Apa hidangan sambal goreng krecek kesukaanmu dihidangkan juga di Jakarta? Cerita dong, Din… (lagi-lagi) aku menunggu balasanmu.
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, 25 Desember 2009
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Bagaimana kabarmu, Din? Sudah banyak surat yang aku kirim, tapi kau tak kunjung membalasnya. Apa kau sudah lupa padaku, Din? Ini sudah surat yang ke-20. Tapi tak satupun kau membalasnya.  Apa sesibuk itu di Jakarta?
Kalau kau sudah agak sedikit senggang, tolong balas suratku, Din…
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, 4 Januari 2010
Untuk Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Selamat tahun baru, Din. Apa kau sudah punya waktu luang untuk membalas suratku, Din?
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, Rabu, 10 Maret 2010
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Selamat ulang tahun, Din… semoga tahun menjadi pribadi yang lebih baik… dan semoga impianmu tercapai. Amin.
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, Jum’at, 16 Juli 2010
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Din, bagaimana kabarmu? Ini sudah tepat surat ke-100 aku kirim ke Jakarta. Ke rumahmu, Din. Seperti permintaanmu dulu. Setahun yang lalu kau minta aku untuk berhenti menelponmu dan memintaku pula untuk mengirimkan surat-surat ini. Lantas, kau tak pernah menepati janjimu untuk membalasnya…
Kau tahu, Din? Aku pikir, Jakarta memang sesibuk itu. Makanya, aku masih terus menunggu surat-suratmu. Kau tahu, aku merindukanmu. Ketika aku menulis surat yang ke-100 ini, sambil terus membayangkan wajahmu, perlahan aku menangis. Berpikir, apa kau sudah tak lagi menganggapku teman, Din?
Apa aku hanya mengganggumu?
Kalau iya, jelaskanlah! Jelaskan padaku dengan yang sebenar-benarnya…
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
NB : Aku mohon, satu surat saja cukup untuk menjelaskannya…
***
Surakarta, 20 September 2010
                Keributan pagi hari itu terjadi seketika Dinda memencet bel rumah berpagar biru itu seraya mengucap salam. “Assalamu’alaikum!!! Seee…Naaa!!” . Tepat selesai Dinda mengucap salam, tiba-tiba bantal-bantal kursi melayang dari dalam rumah ke arah Dinda. BUK! Satu bantal telak mengenai muka Dinda. Dan saat ia menyingkirkan bantalnya, ada pemandangan yang lebih mengerikan di balik bantal tersebut.
                Itu Bude Sari! Bude Sari, Ibu Sena! Berdiri di depan pintu rumahnya sembari memakai daster dan mengacung-acungkan botol kecap di atas kepalanya. Sedetik kemudian Bude Sari sudah berteriak-teriak sambil terus mengacung-acungkan botol kecap, seolah siap untuk melemparnya ke kepala Dinda. “MASIH BERANI KAMU MENGINJAKKAN KAKI DI RUMAHKU? DASAAAR PEMBUNUH ANAKKU!!!!” “PRANGGG!!!”  Kali ini, Bude Sari sudah melempar botolnya. Dinda mengelus dadanya lega, untung kena pagar, kalau nggak, mungkin kepalaku sudah pecah!
                Sambil terus menunduk berlindungkan pagar, Dinda mendengar suara-suara teriakan Bude Sari memaki-maki, diikuti suara Om Bandi, Ayah Sena, dan Eka, adik perempuan Sena, yang berusaha menenangkan Bude Sari. Semenit kemudian, suasana menjadi tenang. Dinda bangkit dari ringkukannya di balik pagar biru itu. Di sana ia menemukan Eka tersenyum kepadanya.
                “Eka…? Bude Sari kenapa? Sena kenapa?” Tanya Dinda dengan suara parau, hampir menangis.
                “Jangan di sini yuk, Mbak! Di warung mie depan aja!” Ajak Eka sambil menyebutkan salah satu warung mie dekat rumahnya. Dinda mengangguk sambil mengikuti Eka dari belakang.
                “Hari ini, aku datang untuk meluruskan kesalahpahaman antara aku dan sena…” Ucap Dinda setibanya di warung mie. “Tapi, aku tak menyangka akan mendapat sambutan yang semeriah itu…” Dinda tertawa kecil. Namun hambar. “Apa yang sebenarnya terjadi, Ka?” Tanya Dinda. Matanya tidak fokus, berusaha menahan tangis sejak tadi.
                Eka tak langsung menjawab. Ia mengaduk es jeruk yang dipesannya, lantas menyeruputnya perlahan. “Kalau boleh tahu, kesalahpahaman apa yang terjadi antara Mas Sena sama Mbak Dinda?” Tanyanya setelah beberapa detik yang sepi.
                Dinda menggeleng perlahan, lalu mulai bercerita. “Saat awal aku di Jakarta, Sena terus-terusan menelponku. Aku tidak keberatan. Sama sekali tidak. Sena mengisi hari-hari awalku saat aku masih belum punya teman di Jakarta. Tapi, rupanya Ibuku keberatan. Beliau memintaku untuk tidak sering-sering menelpon. Mahal lah, mengganggu lah, menghambat kerjaan lah, entah segudang alasannya. Kau tahu kan, dari dulu Ibuku tidak suka Sena?” Eka mengangguk perlahan. Kemudian sunyi sesaat.
                “Akhirnya aku memikirkan cara lain. Yang sama-sama tidak memberatkan, dan sama-sama kami sukai, yaitu dengan menulis. Tadinya aku minta berkirim email. Cuman, aku tahu kami sama-sama gaptek, dan daerah ini jauh dari internet, namun dekat dengan kantor pos. Maka aku mengusulkan untuk surat-menyurat. Aku memintanya untuk menulis lebih dulu. Lantas, aku membalasnya.” Lanjut Dinda panjang lebar.
                “Aku menunggu terus-terusan surat dari Sena. Beberapa bulan pertama, aku pikir, Sena masih sibuk. Maka, memasuki tahun baru, aku mulai mengiriminya surat-surat. Tapi,…” Air mata Dinda mulai turun sebutir. “Ibuku menghalangiku untuk bersurat-suratan dengan Sena. Beliau menyuruh orangnya untuk mengambil suratku untuk Sena di kantor pos saat aku tidak tahu. Dan menyimpan semua surat Sena untukku tanpa memberitahuku. Aku baru mengetahuinya seminggu yang lalu, saat aku juga tahu, bahwa ibuku bukan ibu kandungku.
Cih! Dramatis sekali! Rasanya, seperti  di sinetron-sinetron! Tapi, sayangnya, itu nyata! Nyata kualami! Nyata kurasakan! Kemudian, Ibu kandungku datang ke rumah dan entah bagaimana cara beliau mengurusnya-atau lebih tepatnya, aku tak mau tahu, akhirnya aku pindah ke rumah ibu kandungku. Dan di sanalah beliau memberiku surat-surat dari Sena yang disembunyikan ibu tiriku sejak setahun lalu. Saat itu aku langsung menangis. Ada 100 buah surat yang kubaca. Tak satupun surat Sena yang berisi tulisan! Sena hanya menggambar garis-garis panjang dan titik di atas kertasnya! Anehnya, aku mengerti, ada kesalahpahaman di sana. Di surat-surat awal, ia menggambar garis dan titik di atas kertasnya sebanyak 3 lembar. Semakin lama garis-garis dan titik-titik tersebut berkurang menjadi 2 lembar, dan makin lama pula berkurang menjadi hanya setengah halaman saja… Di sanalah aku paham, bahwa kami sama-sama menunggu. Tak perlu kata-kata untuk memahaminya.” Ucap Dinda sedih.
Hening kembali. Eka memalingkan wajahnya dari Dinda. Berusaha menyembunyikan matanya yang memerah menahan tangis pula. “Mbak… Din…, setahun yang lalu, dokter berkata ada tumor yang tumbuh di otak Mas Sena. Semakin lama, semakin tak tertahankan. Tapi, Mas Sena melarangku memberi tahu Mbak Din, teman sepermainannya. Dan setelah Mbak Din pindah Jakarta sekeluarga, Mas Sena mengambil keputusan untuk operasi pengangkatan tumor. Dikiranya, setelah operasi semuanya akan kembali seperti semula, dan rasa sakit di kepalanya akan hilang.
Kenyataan tak semudah bayangan, Mbak Din. Justru usai operasi, kemampuan kerja otak Mas Sena berkurang drastis. Bahkan mengungkapkan keinginannya untuk makan ikan saja harus dibimbing dulu. Tapi, Mbak Din, keinginannya untuk menulis s urat buat Mbak Din sangat keras. Setiap kali aku menjenguk Mas Sena di rumah sakit, Mas Sena pasti sedang tertatih-tatih memegang pensil dan kertas, walaupun di kertas itu tak satu hruruf pun terukir. Melihat kegigihannya, aku langsung setuju saat Mas Sena minta tolong untuk dikirimkan ke alamat Mbak Din. Biar pun aku tahu, Mbak Din pasti bakal bingung dengan garis-garis tersebut. Semua yang mengirimkan surat itu aku, Mbak…”. Eka menarik napas panjang sebelum melanjutkan cerita ‘Mas Sena’nya.
“Kemudian, sekitar satu bulan yang lalu, saat itu aku pulang sekolah. Langsung mampir ke rumah sakit tempat Mas Sena dirawat. Aku heran, Mbak, banyak banget orang berlalu-lalang. Lebih banyak dari biasanya. Saat aku sampai di depan kamar Mas Sena, aku lihat Ibu teriak-teriak, Mbak… sambil nangis di ruangan Mas Sena yang engh…” Eka berhenti sebentar lagi, sejenak menguatkan hatinya. Lantas melanjutkan, “Banjir darah…”. Sunyi. Mata dinda membelalak. Perasaannya campur aduk. Tiba-tiba perutnya mual, seperti ingin muntah.
“Di sana, pagi hari, Mas Sena memotong nadinya sendiri, dan baru diketahui siangnya. Saat Ibu datang menjenguk. Di sampingnya ada  surat yang beralamatkan dari rumah Mbak Dinda, dan mengatasnamakan Mbak Din…” Eka mengeluarkan sepucuk surat yang dilipat kecil dari dompetnya. Dinda meraihnya dan membukanya. Matanya semakin membelalak, di sana ada tulisan tangan yang ia hafal betul. Itu tulisan tangan ibunya! Ibu tirinya yang selama ini mengaku sebagai ibu kandungnya! Hanya dua baris yang tertulis di sana :
Kau selalu menggangguku, Sena. Aku benci kamu. Mati saja kau! Aku tidak pernah menganggapmu sebagai teman!”
“Ini bukan aku!” tegas Dinda.
“iya, Mbak! Tadinya juga nggak ada yang percaya Mbak Din nulis hal-hal seperti itu! Tapi lihatlah, Mbak! Tanda tangan siapa yang tertera di sana?” 
Dinda meneliti lagi. Itu tanda tangannya. Di pojok kiri bawah. Rapih terukir di sana.
Dinda
Dinda meremas surat, lantas menangis. “Ini bukan aku, Ka… Bukan aku…” Isaknya.
“Nggak peduli Mbak Din atau bukan, ibu sudah menganggap surat itu yang membuat Mas Sena bunuh diri, Mbak. Mbak Din adalah harapan Mas Sena. Karena Mas Sena tahu, bahwa Mbak Din pasti akan menerima Mas Sena apa adanya. Dan… Aku baru tahu akhir-akhir ini, bahwa nilai Mbak Din di mata Mas Sena adalah lebih dari sekadar ‘teman sepermainan’. Bagi Mas Sena, alasannya untuk tetap hidup saat tahu tumor otak menggerayanginya, adalah Mbak Din. Makanya waktu tahu bahwa Mbak Din sebegitu bencinya, Mas Sena merasa tidak ada lagi alasan untuk hidup. Matanya dibutakan oleh cintanya pada Mbak Din.”
Keheningan kembali menyeruak di antara mereka berdua. Menyisakan isak tangis keduanya hingga ke langit-langit warung mie tersebut. Setelah itu tak ada pembicaraan lagi. Cukup sudah memori pahit tentang Sena. Cukup sudah semua kesalahpahaman ini. Sebaiknya semuanya diam hingga tak lagi terbuka luka lama yang sudah bernanah dan berkeropeng itu. Dan membiarkannya tertutup oleh jalannya waktu…


Depok, 6 September 2011

Sedikit Obrolan di Lapangan Bola

   Kau ingat saat aku mengajakmu bicara, kawan? 

                Siang itu matahari tak malu-malu menampakkan dirinya, seolah menantang setiap orang yang berjalan santai di luar ruangan tanpa pendingin. Langitnya berwarna biru muda lengkap dengan awan cumolo-nimbus yang terlukis indah di sana. Angin pun mendukung pemandangan indah itu dengan berhembus sepoi-sepoi, tidak kencang , namun tetap ada.
                Aku ingat betul, hari itu hari Jumat, hari dimana sekolah kita terasa begitu lenggang-karena pelajaran-pelajarannya yang tidak terlampau berat. Tapi, hari itu, aku harus melaksanakan ujian susulan matematika. Aku pun membawa buku matematika ke kelas, walaupun hari itu tidak ada pelajaran matematika. Mencoba membaca-baca, meski aku tahu matematika tidak cukup hanya dengan dibaca, namun juga berlatih. Tapi, entahlah, rasanya untuk memegang pulpen saja aku malas, apalagi menulis!
           BRAAAKKK! Tiba-tiba meja di sebelahku digebrak keras oleh teman kita. Dia Surya, anak keturunan Tionghoa itu benar-benar mengamuk sekarang, setelah setengah jam sebelumnya tarik ulur dengan Farid-ketua kelas kita, tentang pembagian kelompok untuk presentasi makalah fisika.
“MANA BISA YANG SEPERTI ITU DIANGGAP KELOMPOK, RID!” Teriaknya kencang. Terdengar seperti hampir menghabiskan seluruh energinya hanya untuk berteriak kepada Farid.
“Ya…dicoba ajak dia aja lah, Sur…” Ujar Farid, mencoba menenangkan emosi Surya yang meluap-luap. Entah kenapa, kelas ber-AC itu kini sudah tidak lagi dingin, seolah mendukung kenaikan emosi Surya.
“GUE UDAH NGAJAK DIA BERAPA KALI, RID! TAPI, DIA DIEM AJA! GUE UDAH KAYAK NGOMONG SAMA TEMBOK TAU NGGAK!” Teriak Surya lagi sembari mengacung-acungkan telunjuknya ke langit. Farid bicara lagi dengan tenang. Ah…Farid, Farid, ketua kelas kita yang satu itu, padahal sering sekali Surya dan gengnya membentak-bentak dia, tapi dia tetap tenang dan bijaksana dalam mengambil keputusan. 
                 Tadinya aku ingin mencoba bertahan di dalam kelas sambil berusaha mengerti setiap kalimat matematika yang tertulis di buku catatanku. Tapi, ternyata, aku sama sekali tidak bisa konsentrasi dengan Surya-yang duduk di sebelahku berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Maka, aku memutuskan untuk pergi ke tempat favorit kita berdua, lapangan bola. Entahlah, kita selalu suka lapangan bola yang sedang sepi. Warna hijau rumputnya seolah meredam segala emosi dan pikiran yang berkecamuk.  Namun anehnya, kita berdua selalu menghindari lapangan bola saat ramai.
                Aku berdiri dari bangkuku sembari menutup buku catatan matematikaku yang kusampul dengan kertas kado warna pink. Dengan kesal karena merasa terganggu, aku pun menghentakkan kakiku keluar kelas dan segera menuju lapangan bola. Namun, baru beberapa langkah keluar kelas, aku kembali lagi, menghampirimu yang sedang membaca novel “Jejak Langkah”-nya Pramoedya Ananta Toer di sudut kelas. Seketika aku menghampirimu, kau tersenyum. Ah…senyummu manis sekali, kawan. Kau tahu, senyumanmu itu selalu berhasil meredakan aku yang selalu meledak-ledak.   
                “Ke lapangan bola, yuk!” Ajakku sembari membalas senyumanmu. Kau mengangguk, sembari berdiri dan menutup novel yang sejak kemarin kau bawa-bawa kemana-mana.
                “Ayuk!” Jawabmu sembari berjalan mengiringiku keluar kelas dan menuju lapangan bola.
                Ah…lapangan bola. Seperti yang sebelum-sebelumnya. Ketika kita kemari, kita selalu memilih bangku penonton yang paling tengah, seolah dengan duduk di sana semua pemandangan yang ada di lapangan dapat tertangkap oleh mata kita. Aku duduk diam. Begitu juga denganmu. Kita lama terdiam-seperti juga sebelum-sebelumnya. Kemudian, masing-masing dari kita mulai menyibukkan diri dengan buku yang kita bawa. Kegiatan-kegiatan itu seolah menjadi ritual sakral setiap kali kita duduk di bangku tengah di lapangan bola ini. 
                Aku mulai mencoba satu-satu soal yang ada di buku. Namun ternyata, kehadiranmu di sampingku menggodaku untuk berbicara perihal masalah yang sedang berkecamuk dalam pikiranku. Hhhh...aku mulai menarik napas masygul. Aku melirikmu yang masih menikmati novel "Jejak Langkah".
                "Aku menyesal." Ujarku pelan akhirnya. Entahlah, pikiranku tak lagi dapat dibendung. Kau menengadahkan kepalamu, membiarkan novelmu terbuka. menatapku dengan bingung seraya tersenyum. Jilbab putih berkibar tertiup angin yang berhembus pelan. Ahh...kau memang selalu terlihat anggun dengan jilbab yang lebar itu. Tidak sepertiku yang masih ragu-ragu untuk memakai jilbab yang sepanjang milikmu. Aku jadi teringat kata-katamu dulu, saat aku memutuskan untuk memakai kerudung, wanita berjilbab itu berbeda. Bukan karena jilbab yang ia pakai, melainkan karena ia selalu ingin menjadi lebih baik.
                "Marsha terpilih sebagai perwakilan sekolah untuk konferensi remaja se-Indonesia karena esainya yang tentang lingkungan begitu menggugah. Ia serius membuatnya." Lanjutku sembari menatap lapangan luas di depan mataku. Kau tahu, bahwa Marsha dan aku adalah rival dalam segala hal, dan buatku, kalah oleh Marsha adalah sesuatu yang masih bisa belum kuterima, seperti sekarang. Kau masih tetap terdiam, mendengarkan.  
                "Aku menyesal, kenapa aku nggak lebih serius buat bikin esainya. Aku pasti dan yakin bisa lebih baik daripada Marsha. Cuman, kemarin-kemarin aku..." Aku menggantungkan kalimatku. Entah harus melanjutkan apa.
                Lagi-lagi kau tersenyum, seraya berkata, "Lantas, ada gunanya menyesal?" Tanyamu datar.
                Aku tersentak dengan satu kalimatmu yang tenang namun berkesan kuat. Aku terdiam. Kemudian kau mengulang kalimatmu, "Sekarang, ada gunanya tidak kamu menyesal?" Aku masih terdiam. Aku menggigit bibir, mengalihkan pandanganku darimu.
                Aku menggeleng perlahan. Kali ini, senyummu melebar. "Kalau hanya membuat alasan saja, anak kecil juga bisa. Manusia itu pintar lho dalam membuat seribu satu alasan untuk menutup-nutupi kesalahannya. Kayak misalnya, kamu telat, terus ditanya, kenapa telat? kamu bisa beralasan, tadi macet di jalan, terus ditanya lagi, kenapa berangkatnya nggak lebih pagi? Kamu jawab, tadi bangun kesiangan. Terus ditanya lagi, kenapa bisa bangun kesiangan? Kamu jawab, nggakada yang ngebangunin. Ditanya lagi,   kenapa nggak bangun sendiri, nggak punya jam beker? Kamu bisa jawab, lupa nyalain beker, atau bekernya batereinya habis, dan lain sebagainya...iya nggak? Kalau hanya membuat alasan, masalah nggak akan terselesaikan begitu saja... Tapi justru menambah masalah."
                "Kalau kita bisa bijaksana sedikit...saja dalam menjalani hidup, pasti kita akan merasakan keajaiban-keajaiban yang luar biasa yang tersembunyi dalam kehidupan kita..."
                "Menyesal nggak menyelesaikan masalah. Sesekali boleh menyesal. Namanya juga manusia. Sesekali butuh jatuh, untuk merasakan rasanya jadi orang-orang yang di bawah dan biar nggak pongah dalam kehidupan ke depannya. Tapi, kalau terus-terusan jatuh, lantas menyesal dan nggak bangkit, kapan kita bisa menyelesaikan masalah yang kita sesali?
                Semua butuh proses. Mungkin sekarang kamu lagi jatuh. Tapi, kalau kamunggak mengambil langkah untuk bangkit, kapan mau bangkit? Kegagalan adalah cara Tuhan untuk mengatakan, 'ambil jalan lain'. Iya kan?" Kau menyelesaikan kata-katamu. Seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu tersihir dengan kata-katamu tentang kehidupan. Ahh...aku tahu, pengalamanmu memang lebih banyak dalam menjalani kehidupan ini, dibanding aku yang selama ini selalu hidup enak di lingkungan yang enak pula. Sementara kamu, bahkan merasakan tinggal di penjara anak-anak saja kau sudah pernah. Dan, kemudian, seperti ceritamu, kau bangkit setelah bertemu dengan Tuhanmu dalam shalatmu yang pertama di kelas 2 SMP.
                Kali ini, aku ikut tersenyum. Merasakan angin yang berhembus lembut menerpa wajah dan memainkan ujung jilbab kita berdua. Pembicaraan kita di lapangan kali ini, benar-benar terpatri rapih dalam ingatanku-hingga seolah tak mau hilang. Dan setiap kali aku jatuh karena lelah, aku selalu mengingat kata-katamu. Kemudian, seandainya aku kesulitan untuk bangun dari jatuh, maka kau akan menarik lenganku, membantuku berdiri untuk kemudian bangkit kembali.
                Terima kasih, kawan...

diposkan juga di : kitanulisapa.blogspot.com 

Ketika Aku Membenci Ibu

Ini hanya cerita lama. Cerita yang mungkin menurut sebagian besar orang tidak menarik.Tapi, biarkanlah aku menceritakannya padamu, biar hati ini lega karena telah mengungkapkannya-apa yang selama ini selalu kutahan dan kusimpan dalam-dalam.
Sore itu, angin berhembus pelan, masuk perlahan melalui celah jendela kamarku yang terbuka sedikit.Semburat merah masih mengawang di langit sore yang meninggalkan kesan damai dalam hati.Aku terdiam.Menarik nafas panjang. Hhhhhhhhhhhhh… teringat akan Ibu yang sedang menjalani operasi di rumah sakit. Mataku memerah.Panas.Menghela nafas lagi.Mulutku komat-kamit, berdo’a bagi keselamatan Ibu.
Padahal, baru saja, tidak lama kok…baru enam bulan terakhir ini, sejak aku masuk SMA, aku baru dekat dengan Ibu.Baru sering berbagi cerita semasa sekolah dengan Ibu. Baru sering hang outbersama ibu, ke mall, mencari baju, wisata kuliner, atau bahkan kalau rezeki ibu belum turun, hanya sekadar mencuci mata sambil bercerita. Tidak lama kok, baru enam bulan terakhir ini aku sering bercerita soal cinta yang sedang melanda hatiku.Baru saja.Belum lama.Enam bulan bukan waktu yang lama.Hanya seper tigapuluh dari kehidupanku sejak aku lahir hingga sekarang.
Tidak.Aku tidak dekat dengan Ibu sejak kecil.Bagiku, sosok ibu sulit dijangkau.Sosok ibu bagai diselimuti kabut.Sewaktu kecil, aku sering iri dengan adik sepupuku. Tante Septi, adalah ibu idaman menurutku. Beliau tidak pernah memarahi anaknya sebab kesalahannya.Sementara aku?Bahkan, aku mengerjakan sesuatu yang disuruh Ibu pun, aku masih dimarahi.Entah kenapa.
Sesak.Aku teringat waktu aku masih duduk di Taman Kanak-Kanak dulu.Ibu tidak pernah menemaniku di dalam kelas. Sampai aku menangis pun, pada akhirnya, Bu Meta, salah satu guruku lah yang menggendongku, mengajakku bermain, mendiamkanku. Ibu tidak pernah masuk ke dalam kelasku. Hanya berdiri memandang di depan kelas, bahkan pergi dari TK ku. Sekali aku keluar mengejar Ibu, beliau pasti menyuruhku masuk ke dalam kelas lagi.Berkata dengan nada ketus,“Udah sana! Balik ke kelas! Jangan jadi anak manja!”aku menangis saat itu, ditonton seluruh anak-anak di Taman Kanak-Kanak. Sejak saat itu, aku berpikir bahwa ibu tidak sayang padaku.Ibu tidak peduli pada anaknya.
Hhhhhhhhh…aku menghela nafas lagi.Kali ini air mataku benar-benar menetes sebutir-sebutir di pipiku.Sewaktu di Sekolah Dasar, segemilang apapun prestasi yang kudapat, ibu tidak pernah memberiku hadiah.Tidak pernah mengungkitnya di depanku.Hanya seulas senyuman tipis di bibirnya.Hanya itu.Dulu, aku iri.Iri dengan teman-temanku.Setiap kali masuk tahun ajaran baru, bu guru atau pak guru pasti bertanya kepada para anak-anak yang berprestasi, termasuk aku,“Dapat apa dari ayah dan ibunya?”dan setiap anak menjawab dengan semangat,“Dapat tas pak!”atau“Dapat sepatu pak!”dan yang lebih mengesankan lagi “Dapat sepeda pak!”. Jujur, aku iri dengan mereka yang mendapat apresiasi  atas prestasi yang diraihnya.
Dulu juga, setiap kali aku bercerita masalahku kepada Ibu.Ibu tak pernah menanggapi. Dengan santai beliau berkata, “itu kan salahmu!”atau “Cobalah berpikir dari sisi orang lain, jangan hanya dari dirimu sendiri!”.Dulu, aku yang masih kecil, kesal dengan tanggapan ibu, yang menurutku-tidak menghasilkan jalan keluar.
Aku juga kesal, kalau sudah membahas PR dari guru.Ibu SAMA SEKALI tidak pernah membantuku.Pasti ngeles kalau ibu sudah lupalah, ibu sedang sibuklah, dan macam-amacam alasannya.Makanya, aku tidak pernah bertanya apapun kepada ibu.Tidak pernah bercerita apapun pada ibu.Rasanya hanya interaksi kosong di antara kita.
Hingga akhirnya, saat SMP, aku masuk sekolah berasrama yang jauh dari rumah. Sengaja! Aku bosan dengan suasana rumah! Aku ingin menghindari ibu sejauh-jauhnya! Aku nggak tahan berada dekat ibu! Aku nggak tau harus berbicara apa kalau berhdapan dengan ibu! Aku ingin menghindari suasana kosong ini.Ingin suasana baru.Tidak ingin diam saja.Aku iri dengan teman-temanku yang punya ibu yang baik.Bahkan, ibu hanya mengantarku dan langsung pulang, ketika seharusnya aku masuk ke sekolah asrama.
Aku benci mengakui ini. Aku benci mengakui bahwa, ketika ditinggal ibu, aku merasa kehilangan beliau! Aku benci mengakui setiap kali melihat teman-teman dijenguk oleh ibunya, aku juga teringat akan ibu! Aku benci mengakui bahwa ternyata aku butuh ibuku! Aku benci mengakui bahwa setiap air mata yang menetes dari mataku adalah untuk ibuku! Dan aku benci mengetahui bahwa aku nyaman berada dekat dengan ibuku…
Aku benci.
Aku benci. Tapi, ternyata memang ini yang kurasakan! Kerinduan yang mendalam ini memang tertuju pada ibuku! Bukan kakak-kakakku, bukan ayahku, apalagi teman-temanku. Kerinduan ini memang untuk ibuku! Bukan untuk siapa-siapa… hanya untuk ibu…
Hhhhhh…aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.Menatap langit yang masih memerah.Tes…tes…Ibu… seandainya aku tahu lebih cepat.
Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa ibu tidak pernah mau tinggal di kelasku sewaktu aku TK adalah agar aku yang anak bungsu tidak selalu bergantung pada ibu.Agar aku yang anak bungsu, berani menghadapi orang-orang yang ada di sekitarku. Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa ibu sebenarnya selalu membicarakanku yang mendapat prestasi di depan teman-temannya, dan beliau tidak pernah mau memujiku berlebihan adalah agar aku tidak mudah puas dengan apa yang sudah kuterima. Seandainya aku tahu lebih cepat bahwa, ibu selalu berkata “itu kan salahmu!”atau “Cobalah berpikir dari sisi orang lain, jangan hanya dari dirimu sendiri!” adalah agar aku benar-benar berpikir objektif, agar aku selalu mengintropeksi diriku sendiri dan tidak melulu menyalahkan kondisi ataupun orang lain. Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa ibu sebenarnya berusaha dengan keras mencari jawaban-jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan setiap kali membahas PR di luar sepengatahuanku.
Dan seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa selama aku bersekolah di sekolah berasrama, ibu selalu menangis untukku. Setiap kali makan makanan yang kusukai, ibu menangis, memikirkan “Anakku di sana makan apa ya? Apakah dia makan makanan yang disukainya? Atau hanya sekadar makan nasi dengan tempe?”. Setiap kali ibu nonton tv, ibu menangis dan berpikir “di sana anakku nggak bisa nonton film yang disukainya bersamaku lagi. Dia harus belajar terus-terusan…”. Setiap kali ibu tidur di kasurnya, ibu menangis, lagi-lagi berpikir tentang aku, si anak bungsunya, “di sana, apakah anakku tidur dengan nyaman?”. Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa di setiap sujud ibu, ibu menangis, menghamba pada Yang Maha Esa, agar aku, si anak bungsunya, yang tidak penah dekat dengannya, yang selalu menghindarinya, yang selalu  mencacimakinya walau hanya dalam bathin, selalu sehat, sukses, bahagia, dan mendapatkan lingkungan yang baik.
Seandainya aku tahu lebih cepat bahwa ibu selalu khawatir akan diriku…
Selalu khawatir setiap kali aku pulang telat dari sekolah…
Selalu khawatir ketika aku sakit, sekalipun aku tidak memberitahunya. Ibu tahu aku sakit! Padahal, menelponnnya saja aku tidak! Ibu tahu aku banyak masalah! Padahal berbicara dengannya saja aku tidak! Ibu selalu tahu kondisiku! Padahal…aku menjauhinya…
Ya…Allah… Seandainya aku dekat dengan ibu lebih cepat…
Isak tangisku mengeras ketika memikirkan ibu.Harap-harap cemas.Khawatir jika ibu kenapa-napa.Khawatir jika aku tak lagi dapat bertemu dengan ibu…Hhhhhhhhhh…aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.Merebahkan kepalaku di atas bantal.Menatap langit-langi kamar dengan air mata yang masih terus mengalir.
Ibu…
Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk pelan. “Dik?” Tanya sebuah suara di luar sana.
“Ya Mas?” jawabku berusaha menyembunyikan getar dalam nada suaraku.
“Ibu telepon tuh, katanya mau ngomong sama kamu!”
“Lho?!Operasinya udah selesai Mas?”
“Udah dari beberapa jam yang lalu kok…Cepet gih, ditungguin tuh!”
“Iya! Iya!” aku menyeka air mataku dan segera berlari keluar kamar, menyambar gagang telepon yang dipegang kakakku yang lain.
“Halo, Assalamu’alaikum?” ucapku pelan.
“Wa ‘alaikum salam Dik…” jawab ibu. Suaranya terdengar amat lelah.
“Ibu?Ibu gimana operasinya…?” tanyaku menahan tangis.
Kemudian ibu bercerita panjang tentang pengalamannya sehari penuh di rumah sakit.Sesekali tertawa.Sesekali mengeluh.Sesekali serius.Dan tertawa lagi.
“Yaudah Dik, belajar gih, besok ada ulangan apa?” Tanya ibu seakan mau mengakhiri teleponnya.
“Nggak ada ulangan kok Bu.”
……. Sesaat kita berdua diam. Meresapi setiap pembicaraan.
“Bu?” panggilku.
“Hmm?”
“Aku sayang Ibu, Aku mau minta maaf sama Ibu, selama ini aku nggak pernah berbakti sama Ibu…” tangisku pecah tak tertahankan. Entah bagaimana caranya, aku merasa bahwa di seberang sana Ibu tersenyum menanggapi setiap tangisku. Beliau menunggu lama sekali hingga aku selesai menangis.
“Ibu tahu kok.Ibu juga sayang adik. Sayang banget…”
“Maaf ya Bu…”
“Maaf kenapa?Nggak ada yang perlu dimaafin, dalam hidup yang namanya salah adalah sesuatu yang biasa, tinggal bagaimana kita menghadapinya saja.Ibu nggak pernah merasa didurhakai kok…hahahaha” Ibu tertawa kecil menanggapi.Aku tersenyum. Menghapus air mataku.
“Udah sana belajar! Udah ya…Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam…” aku menutup gagang telepon. Terisak kembali.
Ya…Allah, betapa Engkau telah memberiku Ibu yang amat baik bagiku…
Terima kasih Allah…