Selasa, 06 September 2011

Surat Buat Dinda


Surakarta, Sabtu, 1 Agustus 2009
Untuk Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Bagaimana kabarmu, Dinda? Sebenarnya, aku agak bingung untuk menulis surat. Yah-jujur saja, ini pertama kalinya aku menulis surat, tentunya selain untuk tugas bahasa Indonesia dulu… (>.<). Dan, maaf saja kalau bahasanya agak kaku. Aku bingung, apakah aku harus pakai bahasa yang formal seperti tugas bahasaku atau bahasa yang aku gunakan sehari-hari?  Setelah corat-coret di atas kertas buku gambarku, akhirnya, aku memutuskan untuk menulis apa adanya, membiarkan tanganku bergerak terus mengikuti keinginan rasanya lebih pas, daripada aku membingungkan masalah ‘menggunakan bahasa kaku atau tidak’.
Yah, aku agak kaget juga dengan permintaan ‘surat-menyurat’ ini darimu.  Apa aku mengganggumu dengan telpon-telponku ke rumah barumu di Jakarta sana? Tapi, aku setuju denganmu, kalau dengan surat, kita bisa membacanya berkali-kali, menyimpannya, atau bahkan memajangnya di kamar… (siapa pula yang akan memajangnya, Din? Aku bahkan tak yakin kau akan melakukannya…). Jadi, aku setuju saat kau mengajakku untuk melakukan ‘korespondensi’. Begitu kan?
Lalu, bagaimana Jakarta sana? Panaskah? Lebih panas mana, Din, dengan Solo? Macetkah seperti yang diberitakan di TV? Aaah… senang sekali, Din, kau bisa ke Jakarta. Apa kau sudah mampir ke tempat-tempat wisatanya? Ke Dufan, Ragunan, Taman Safari, Taman Mini, dan semua yang kau sebutkan dulu itu, Din? Jika kau sudah pergi ke sana, ceritakan padaku dengan lengkap! Bagaimana suasananya, ramaikah, atau mahalkah? Apa sajalah! Supaya aku bisa membayangkan dan punya motivasi juga untuk pergi ke Jakarta sana. Menyusulmu untuk bersekolah di sana.
Ah... iya! Ngomong-ngomong tentang sekolah, bagaimana sekolahmu? Apakah seperti yang kau bicarakan? Perpustakaan yang besar dengan koleksi buku yang lengkap seperti yang kau impikan? Belajar dengan menggunakan komputer, internet, atau apalah namanya itu! Laboratorium dengan alat-alat kimia, biologi, dan fisika yang lengkap? Sudahkah kau dapatkan itu semua, Din? (Lagi-lagi) aku minta ceritamu, Din! Biar aku juga merasakan kebahagiaanmu di Jakarta sana, Din!
Lalu, bagaimana teman-temanmu? Sudahkah kau dapatkan teman yang baik sepertiku? (^_^) Atau yang cerewet seperti Laksmi dan Risa. Yang bandel seperti Oki dan gengnya. Yang ramah seperti Ella, Rahmi, Yanti. Yang pintar seperti Angga, Anin, dan lainnya…! Apa kau dapat teman yang baik, Din?
Ah… maaf ya, rasanya, aku terlalu menghujanimu dengan pertanyaa-pertanyaan. Tapi, aku benar-benar ingin tahu bagaimana keadaanmu di Jakarta sana, Din…Jadi, bagaimana kalau kita bertukar cerita? Seiring dengan berjalannya waktu, pasti akan ada banyak hal yang bisa diceritakan. Iya kan, Dinda? Aku juga akan terus mengirim kabarku dan teman-teman di Solo sini.
Mmmm… mungkin, sekian dulu surat pertamaku, Din…(akhirnya, bisa juga aku menulis surat, awalnya aku agak sedikit ragu dengan kemampuanku menulis). Aku tunggu kabarmu berikutnya, Dinda..
Wassalamu’alaikum wr. wb
Teman sebangkumu
ASena
A.Sena
***
Surakarta, Rabu, 8 September 2009
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Apa kabar Jakarta? Baik-baik sajakah? Hei, Din, aku belum menerima surat balasanmu… Padahal kau yang mengusulkan untuk surat-menyurat. Lagi sibuk ya? Yah-kalau di sekolahku si sekarang sedang mid semester… (surat ini juga kubuat saat selesai mengerjakan soal biologi ^_^). Tadinya, aku mau menunggu sampai selesai mid. Tapi, karena tak sabar untuk menceritakan keadaan di sini, tanpa sadar aku sudah menulis panjang kali lebar kali tinggi untukmu…
 Ini sudah memasuk hari ke-13 puasa. Kau tahu, Din? Tepat sehari sebelum puasa, sekolah kami mengadakan pawai keliling Solo! Bayangkan keliling Solo! Sebagian menggunakan sepeda, sebagian lainnya menggunakan sepeda motor, dan yang lainnya berjalan kaki, sesuai hasil kocokan per kelas. Sembari membagikan jadwal imsakiyah Ramadhan dan sedikit stiker bertuliskan “Sambut Ramadhan, Tingkatkan Taqwa” yang didesain oleh Heru dan dicetak di tempat yang sama dengan saat kita mencetak buku tahunan dulu saat SMP. Tak lupa spanduk-spanduk yang bertuliskan sama dengan stikernya kami usung tinggi-tinggi di atas kepala. Dan bagi yang berkendara membawa bendera yang diikatkan di sepeda atau motornya.
Pawai tersebut dimulai pukul 7 pagi dan selesai pukul 4 lebih sedikit. Saat itu, kami sempat beristirahat untuk shalat dzhuhur dan makan siang di keraton lho! Ah seru sekali lho, Din! Coba kau ada di sana! Eh tapi kami nggak Cuma jalan dan bagi-bagi stiker atau jadwal imsakiyah, kami memakai kostum sesuai dengan kesepakatan sekelas, kalau kata Pak Sugeng, kepala sekolah kami, “Guna menunjukkan kekreativitasan siswa-siswi….dan bla…bla…bla…” (entah, panjang sekali pidato Pak Sugeng saat itu).
Kelasku, kelas X-1, atas ide Akbar, teman sebangkuku sekarang, kami sepakat untuk menggunakan kostum-kostum bertemakan ‘kera sakti’ (kau pasti tahukan cerita si kera sakti yang mencari kitab suci?). Aku di sini berperan menjadi biksu, tentu saja atas hasil kocokan. Yang menjadi kera saktinya, kau tahu siapa? Kau pasti tidak akan menduga! Angga, si kutu buku itu yang jadi kera sakti! Teman kita satu kelas dulu, Din! Walaupun awalnya kami agak ragu, tapi toh, ternyata Angga bisa memerankan kera sakti dengan baik selama pawai. Kalau kau melihat aksi Angga saat pawai, kau pasti tertawa terpingkal-pingkal, Din!
Lalu, Ayu, Nana, dan Intan menjadi tiga serangkai siluman laba-laba. Mereka berjalan miring-miring sepanjang pawai, sampai-sampai hampir menabrak Angga, dan aku! Pokoknya seru, deh, Din! Eh, tapi ini bukannya aku mengompori kamu untuk kembali ke Solo lho, Din! Hanya bercerita saja… Kau pasti bisa membayangkannya…
Kemudian, hari Sabtu lalu, kelasku mengadakan buka puasa bersama di Masja alias Masakan Jawa, yang kita kenal dengan nama ‘Rumah Makan Taman Sari’. Kami mengambil lokasi di Masja yang berada di jalan Selamet Riyadi, tempat kita dulu merayakan ulang tahunmu yang ke-15, Din. Kau ingatkan?
Hei, tanggal 22 nanti, sekolah kami sudah mulai libur. Bagaimana dengan sekolahmu? Libur lebaran ini apakah kau akan mampir ke Solo, Din? Kalau kau mampir Solo, jangan lupa main ke rumahku ya! Masih ingatkan?
Ok. Kurasa itu sedikit hal yang bisa kuceritakan, Din. Sekarang giliranmu becerita! Aku menunggu…!
Wassalamu’alaikum wr. wb
Teman sebangkumu
ASena
A.Sena
 ***
Surakarta, Selasa, 24 September 2009
Teruntuk Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Hai! Hai! Hai, Din! Bagaimana kabarmu di Jakarta sana? Sehatkah? Oh ya…Walaupun sudah agak telat, tapi rasanya ada yang kurang kalau aku belum mengucapkannya, “Selamat Idul Fitri ya… Mohon maaf lahir dan bathin.” Maaf banget, Din, kalau-kalau aku sering salah ucap, salah kata di surat-surat yang sudah aku kirim, salah sikap, dan salah-salah lainnya. Kamu mau kan maafin aku?
Sekolah baru akan dimulai hari Senin minggu depan, jadi saat ini aku masih dalam tenggat waktu liburan. Bagaimana denganmu? Hei, kau tidak mampir ke Solo, Din! Suratku juga belum kau balas! Sesibuk itukah dirimu di Jakarta sana? Apakah sekolah di  Jakarta banyak menuntut waktumu, Din? Tak apa-apa kalau kau mau memaksimalkan waktumu di Jakarta sana untuk belajar, tapi, ingat juga kesehatanmu, Din. Kau kan sering sekali jatuh sakit! Hati-hati juga dengan penyakit thypus-mu… Kata Dokter Mila, dokter di sekolahku, typhus (eh, bagaimana ya tulisan yang benarnya? Typhus atau thypus?  Atau malah tipes? Yah… pokoknya gitulah! =,=”) bisa kambuh sewaktu-waktu. Pokoknya, Jaga Kesehatan, Din! OK?
Lebaran kali ini, di RT kita mengadakan halal bi halal akbar di lapangan lokasi sholat ied. Di sana, setiap rumah membawa minimal satu hidangan untuk nantinya dimakan bersama-sama di lapangan itu. Keluargaku membawa hidangan sambal goreng tumpang dan sate ayam. Eh, ternyata tidak hanya keluargaku yang membawa sate ayam, tapi itu justru membuat hidangan sate dalam jumlah yang banyak. Kemudian ada juga yang membawa opor ayam, sambala goreng krecek, bahkan ada sejumlah rumah yang membawa nasi tumpeng! Ya ampun… lebaran kali ini benar-benar makan besar deh, Din! Haaaaaahhh… kenyaaaaaannnngggg!!
Ah, ada yang terlewat! Saat malam takbirannya, walikota Solo mengadakan lomba takbiran keliling. Dan, coba tebak! Sekolah kami mendapat juara 2! Walaupun persiapannya mendadak, dan hampir batal ikut, namun berkat kegigihan Pak Sunaryo, guru Agama kami, akhirnya jadi juga kami ikut lomba takbir keliling itu. Dan yang tidak disangka adalah kami mendapat juara 2 itu!
Padahal sebelumnya, beberapa senior, seperti Kak Agung dan Kak Tyar sudah hampir putus asa. Dan atas komando Pak Sunaryo, kami terburu-buru mencari mobil bak terbuka untuk membawa kami takbiran keliling kota. Terburu-buru meminta tolong Rohis putri dan beberapa anak-anak sekolah kami yang tidak kemana-mana untuk menghias mobil tersebut. Terburu-buru mencari bermacam-macam alat yang bisa dibunyikan untuk takbiran, mulai dari piring, galon, garpu, sendok, tong, rebana, sampai gitar dan biola! Dan smeuanya kami kerjakan dalam waktu satu hari! Wow! Benar-benar nggak terkira deh!
Lalu, bagaimana dengan lebaran di Jakarta, Din? Kamu sholat ied dimana? Apa hidangan sambal goreng krecek kesukaanmu dihidangkan juga di Jakarta? Cerita dong, Din… (lagi-lagi) aku menunggu balasanmu.
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, 25 Desember 2009
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Bagaimana kabarmu, Din? Sudah banyak surat yang aku kirim, tapi kau tak kunjung membalasnya. Apa kau sudah lupa padaku, Din? Ini sudah surat yang ke-20. Tapi tak satupun kau membalasnya.  Apa sesibuk itu di Jakarta?
Kalau kau sudah agak sedikit senggang, tolong balas suratku, Din…
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, 4 Januari 2010
Untuk Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Selamat tahun baru, Din. Apa kau sudah punya waktu luang untuk membalas suratku, Din?
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, Rabu, 10 Maret 2010
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Selamat ulang tahun, Din… semoga tahun menjadi pribadi yang lebih baik… dan semoga impianmu tercapai. Amin.
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, Jum’at, 16 Juli 2010
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Din, bagaimana kabarmu? Ini sudah tepat surat ke-100 aku kirim ke Jakarta. Ke rumahmu, Din. Seperti permintaanmu dulu. Setahun yang lalu kau minta aku untuk berhenti menelponmu dan memintaku pula untuk mengirimkan surat-surat ini. Lantas, kau tak pernah menepati janjimu untuk membalasnya…
Kau tahu, Din? Aku pikir, Jakarta memang sesibuk itu. Makanya, aku masih terus menunggu surat-suratmu. Kau tahu, aku merindukanmu. Ketika aku menulis surat yang ke-100 ini, sambil terus membayangkan wajahmu, perlahan aku menangis. Berpikir, apa kau sudah tak lagi menganggapku teman, Din?
Apa aku hanya mengganggumu?
Kalau iya, jelaskanlah! Jelaskan padaku dengan yang sebenar-benarnya…
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
NB : Aku mohon, satu surat saja cukup untuk menjelaskannya…
***
Surakarta, 20 September 2010
                Keributan pagi hari itu terjadi seketika Dinda memencet bel rumah berpagar biru itu seraya mengucap salam. “Assalamu’alaikum!!! Seee…Naaa!!” . Tepat selesai Dinda mengucap salam, tiba-tiba bantal-bantal kursi melayang dari dalam rumah ke arah Dinda. BUK! Satu bantal telak mengenai muka Dinda. Dan saat ia menyingkirkan bantalnya, ada pemandangan yang lebih mengerikan di balik bantal tersebut.
                Itu Bude Sari! Bude Sari, Ibu Sena! Berdiri di depan pintu rumahnya sembari memakai daster dan mengacung-acungkan botol kecap di atas kepalanya. Sedetik kemudian Bude Sari sudah berteriak-teriak sambil terus mengacung-acungkan botol kecap, seolah siap untuk melemparnya ke kepala Dinda. “MASIH BERANI KAMU MENGINJAKKAN KAKI DI RUMAHKU? DASAAAR PEMBUNUH ANAKKU!!!!” “PRANGGG!!!”  Kali ini, Bude Sari sudah melempar botolnya. Dinda mengelus dadanya lega, untung kena pagar, kalau nggak, mungkin kepalaku sudah pecah!
                Sambil terus menunduk berlindungkan pagar, Dinda mendengar suara-suara teriakan Bude Sari memaki-maki, diikuti suara Om Bandi, Ayah Sena, dan Eka, adik perempuan Sena, yang berusaha menenangkan Bude Sari. Semenit kemudian, suasana menjadi tenang. Dinda bangkit dari ringkukannya di balik pagar biru itu. Di sana ia menemukan Eka tersenyum kepadanya.
                “Eka…? Bude Sari kenapa? Sena kenapa?” Tanya Dinda dengan suara parau, hampir menangis.
                “Jangan di sini yuk, Mbak! Di warung mie depan aja!” Ajak Eka sambil menyebutkan salah satu warung mie dekat rumahnya. Dinda mengangguk sambil mengikuti Eka dari belakang.
                “Hari ini, aku datang untuk meluruskan kesalahpahaman antara aku dan sena…” Ucap Dinda setibanya di warung mie. “Tapi, aku tak menyangka akan mendapat sambutan yang semeriah itu…” Dinda tertawa kecil. Namun hambar. “Apa yang sebenarnya terjadi, Ka?” Tanya Dinda. Matanya tidak fokus, berusaha menahan tangis sejak tadi.
                Eka tak langsung menjawab. Ia mengaduk es jeruk yang dipesannya, lantas menyeruputnya perlahan. “Kalau boleh tahu, kesalahpahaman apa yang terjadi antara Mas Sena sama Mbak Dinda?” Tanyanya setelah beberapa detik yang sepi.
                Dinda menggeleng perlahan, lalu mulai bercerita. “Saat awal aku di Jakarta, Sena terus-terusan menelponku. Aku tidak keberatan. Sama sekali tidak. Sena mengisi hari-hari awalku saat aku masih belum punya teman di Jakarta. Tapi, rupanya Ibuku keberatan. Beliau memintaku untuk tidak sering-sering menelpon. Mahal lah, mengganggu lah, menghambat kerjaan lah, entah segudang alasannya. Kau tahu kan, dari dulu Ibuku tidak suka Sena?” Eka mengangguk perlahan. Kemudian sunyi sesaat.
                “Akhirnya aku memikirkan cara lain. Yang sama-sama tidak memberatkan, dan sama-sama kami sukai, yaitu dengan menulis. Tadinya aku minta berkirim email. Cuman, aku tahu kami sama-sama gaptek, dan daerah ini jauh dari internet, namun dekat dengan kantor pos. Maka aku mengusulkan untuk surat-menyurat. Aku memintanya untuk menulis lebih dulu. Lantas, aku membalasnya.” Lanjut Dinda panjang lebar.
                “Aku menunggu terus-terusan surat dari Sena. Beberapa bulan pertama, aku pikir, Sena masih sibuk. Maka, memasuki tahun baru, aku mulai mengiriminya surat-surat. Tapi,…” Air mata Dinda mulai turun sebutir. “Ibuku menghalangiku untuk bersurat-suratan dengan Sena. Beliau menyuruh orangnya untuk mengambil suratku untuk Sena di kantor pos saat aku tidak tahu. Dan menyimpan semua surat Sena untukku tanpa memberitahuku. Aku baru mengetahuinya seminggu yang lalu, saat aku juga tahu, bahwa ibuku bukan ibu kandungku.
Cih! Dramatis sekali! Rasanya, seperti  di sinetron-sinetron! Tapi, sayangnya, itu nyata! Nyata kualami! Nyata kurasakan! Kemudian, Ibu kandungku datang ke rumah dan entah bagaimana cara beliau mengurusnya-atau lebih tepatnya, aku tak mau tahu, akhirnya aku pindah ke rumah ibu kandungku. Dan di sanalah beliau memberiku surat-surat dari Sena yang disembunyikan ibu tiriku sejak setahun lalu. Saat itu aku langsung menangis. Ada 100 buah surat yang kubaca. Tak satupun surat Sena yang berisi tulisan! Sena hanya menggambar garis-garis panjang dan titik di atas kertasnya! Anehnya, aku mengerti, ada kesalahpahaman di sana. Di surat-surat awal, ia menggambar garis dan titik di atas kertasnya sebanyak 3 lembar. Semakin lama garis-garis dan titik-titik tersebut berkurang menjadi 2 lembar, dan makin lama pula berkurang menjadi hanya setengah halaman saja… Di sanalah aku paham, bahwa kami sama-sama menunggu. Tak perlu kata-kata untuk memahaminya.” Ucap Dinda sedih.
Hening kembali. Eka memalingkan wajahnya dari Dinda. Berusaha menyembunyikan matanya yang memerah menahan tangis pula. “Mbak… Din…, setahun yang lalu, dokter berkata ada tumor yang tumbuh di otak Mas Sena. Semakin lama, semakin tak tertahankan. Tapi, Mas Sena melarangku memberi tahu Mbak Din, teman sepermainannya. Dan setelah Mbak Din pindah Jakarta sekeluarga, Mas Sena mengambil keputusan untuk operasi pengangkatan tumor. Dikiranya, setelah operasi semuanya akan kembali seperti semula, dan rasa sakit di kepalanya akan hilang.
Kenyataan tak semudah bayangan, Mbak Din. Justru usai operasi, kemampuan kerja otak Mas Sena berkurang drastis. Bahkan mengungkapkan keinginannya untuk makan ikan saja harus dibimbing dulu. Tapi, Mbak Din, keinginannya untuk menulis s urat buat Mbak Din sangat keras. Setiap kali aku menjenguk Mas Sena di rumah sakit, Mas Sena pasti sedang tertatih-tatih memegang pensil dan kertas, walaupun di kertas itu tak satu hruruf pun terukir. Melihat kegigihannya, aku langsung setuju saat Mas Sena minta tolong untuk dikirimkan ke alamat Mbak Din. Biar pun aku tahu, Mbak Din pasti bakal bingung dengan garis-garis tersebut. Semua yang mengirimkan surat itu aku, Mbak…”. Eka menarik napas panjang sebelum melanjutkan cerita ‘Mas Sena’nya.
“Kemudian, sekitar satu bulan yang lalu, saat itu aku pulang sekolah. Langsung mampir ke rumah sakit tempat Mas Sena dirawat. Aku heran, Mbak, banyak banget orang berlalu-lalang. Lebih banyak dari biasanya. Saat aku sampai di depan kamar Mas Sena, aku lihat Ibu teriak-teriak, Mbak… sambil nangis di ruangan Mas Sena yang engh…” Eka berhenti sebentar lagi, sejenak menguatkan hatinya. Lantas melanjutkan, “Banjir darah…”. Sunyi. Mata dinda membelalak. Perasaannya campur aduk. Tiba-tiba perutnya mual, seperti ingin muntah.
“Di sana, pagi hari, Mas Sena memotong nadinya sendiri, dan baru diketahui siangnya. Saat Ibu datang menjenguk. Di sampingnya ada  surat yang beralamatkan dari rumah Mbak Dinda, dan mengatasnamakan Mbak Din…” Eka mengeluarkan sepucuk surat yang dilipat kecil dari dompetnya. Dinda meraihnya dan membukanya. Matanya semakin membelalak, di sana ada tulisan tangan yang ia hafal betul. Itu tulisan tangan ibunya! Ibu tirinya yang selama ini mengaku sebagai ibu kandungnya! Hanya dua baris yang tertulis di sana :
Kau selalu menggangguku, Sena. Aku benci kamu. Mati saja kau! Aku tidak pernah menganggapmu sebagai teman!”
“Ini bukan aku!” tegas Dinda.
“iya, Mbak! Tadinya juga nggak ada yang percaya Mbak Din nulis hal-hal seperti itu! Tapi lihatlah, Mbak! Tanda tangan siapa yang tertera di sana?” 
Dinda meneliti lagi. Itu tanda tangannya. Di pojok kiri bawah. Rapih terukir di sana.
Dinda
Dinda meremas surat, lantas menangis. “Ini bukan aku, Ka… Bukan aku…” Isaknya.
“Nggak peduli Mbak Din atau bukan, ibu sudah menganggap surat itu yang membuat Mas Sena bunuh diri, Mbak. Mbak Din adalah harapan Mas Sena. Karena Mas Sena tahu, bahwa Mbak Din pasti akan menerima Mas Sena apa adanya. Dan… Aku baru tahu akhir-akhir ini, bahwa nilai Mbak Din di mata Mas Sena adalah lebih dari sekadar ‘teman sepermainan’. Bagi Mas Sena, alasannya untuk tetap hidup saat tahu tumor otak menggerayanginya, adalah Mbak Din. Makanya waktu tahu bahwa Mbak Din sebegitu bencinya, Mas Sena merasa tidak ada lagi alasan untuk hidup. Matanya dibutakan oleh cintanya pada Mbak Din.”
Keheningan kembali menyeruak di antara mereka berdua. Menyisakan isak tangis keduanya hingga ke langit-langit warung mie tersebut. Setelah itu tak ada pembicaraan lagi. Cukup sudah memori pahit tentang Sena. Cukup sudah semua kesalahpahaman ini. Sebaiknya semuanya diam hingga tak lagi terbuka luka lama yang sudah bernanah dan berkeropeng itu. Dan membiarkannya tertutup oleh jalannya waktu…


Depok, 6 September 2011

Sedikit Obrolan di Lapangan Bola

   Kau ingat saat aku mengajakmu bicara, kawan? 

                Siang itu matahari tak malu-malu menampakkan dirinya, seolah menantang setiap orang yang berjalan santai di luar ruangan tanpa pendingin. Langitnya berwarna biru muda lengkap dengan awan cumolo-nimbus yang terlukis indah di sana. Angin pun mendukung pemandangan indah itu dengan berhembus sepoi-sepoi, tidak kencang , namun tetap ada.
                Aku ingat betul, hari itu hari Jumat, hari dimana sekolah kita terasa begitu lenggang-karena pelajaran-pelajarannya yang tidak terlampau berat. Tapi, hari itu, aku harus melaksanakan ujian susulan matematika. Aku pun membawa buku matematika ke kelas, walaupun hari itu tidak ada pelajaran matematika. Mencoba membaca-baca, meski aku tahu matematika tidak cukup hanya dengan dibaca, namun juga berlatih. Tapi, entahlah, rasanya untuk memegang pulpen saja aku malas, apalagi menulis!
           BRAAAKKK! Tiba-tiba meja di sebelahku digebrak keras oleh teman kita. Dia Surya, anak keturunan Tionghoa itu benar-benar mengamuk sekarang, setelah setengah jam sebelumnya tarik ulur dengan Farid-ketua kelas kita, tentang pembagian kelompok untuk presentasi makalah fisika.
“MANA BISA YANG SEPERTI ITU DIANGGAP KELOMPOK, RID!” Teriaknya kencang. Terdengar seperti hampir menghabiskan seluruh energinya hanya untuk berteriak kepada Farid.
“Ya…dicoba ajak dia aja lah, Sur…” Ujar Farid, mencoba menenangkan emosi Surya yang meluap-luap. Entah kenapa, kelas ber-AC itu kini sudah tidak lagi dingin, seolah mendukung kenaikan emosi Surya.
“GUE UDAH NGAJAK DIA BERAPA KALI, RID! TAPI, DIA DIEM AJA! GUE UDAH KAYAK NGOMONG SAMA TEMBOK TAU NGGAK!” Teriak Surya lagi sembari mengacung-acungkan telunjuknya ke langit. Farid bicara lagi dengan tenang. Ah…Farid, Farid, ketua kelas kita yang satu itu, padahal sering sekali Surya dan gengnya membentak-bentak dia, tapi dia tetap tenang dan bijaksana dalam mengambil keputusan. 
                 Tadinya aku ingin mencoba bertahan di dalam kelas sambil berusaha mengerti setiap kalimat matematika yang tertulis di buku catatanku. Tapi, ternyata, aku sama sekali tidak bisa konsentrasi dengan Surya-yang duduk di sebelahku berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Maka, aku memutuskan untuk pergi ke tempat favorit kita berdua, lapangan bola. Entahlah, kita selalu suka lapangan bola yang sedang sepi. Warna hijau rumputnya seolah meredam segala emosi dan pikiran yang berkecamuk.  Namun anehnya, kita berdua selalu menghindari lapangan bola saat ramai.
                Aku berdiri dari bangkuku sembari menutup buku catatan matematikaku yang kusampul dengan kertas kado warna pink. Dengan kesal karena merasa terganggu, aku pun menghentakkan kakiku keluar kelas dan segera menuju lapangan bola. Namun, baru beberapa langkah keluar kelas, aku kembali lagi, menghampirimu yang sedang membaca novel “Jejak Langkah”-nya Pramoedya Ananta Toer di sudut kelas. Seketika aku menghampirimu, kau tersenyum. Ah…senyummu manis sekali, kawan. Kau tahu, senyumanmu itu selalu berhasil meredakan aku yang selalu meledak-ledak.   
                “Ke lapangan bola, yuk!” Ajakku sembari membalas senyumanmu. Kau mengangguk, sembari berdiri dan menutup novel yang sejak kemarin kau bawa-bawa kemana-mana.
                “Ayuk!” Jawabmu sembari berjalan mengiringiku keluar kelas dan menuju lapangan bola.
                Ah…lapangan bola. Seperti yang sebelum-sebelumnya. Ketika kita kemari, kita selalu memilih bangku penonton yang paling tengah, seolah dengan duduk di sana semua pemandangan yang ada di lapangan dapat tertangkap oleh mata kita. Aku duduk diam. Begitu juga denganmu. Kita lama terdiam-seperti juga sebelum-sebelumnya. Kemudian, masing-masing dari kita mulai menyibukkan diri dengan buku yang kita bawa. Kegiatan-kegiatan itu seolah menjadi ritual sakral setiap kali kita duduk di bangku tengah di lapangan bola ini. 
                Aku mulai mencoba satu-satu soal yang ada di buku. Namun ternyata, kehadiranmu di sampingku menggodaku untuk berbicara perihal masalah yang sedang berkecamuk dalam pikiranku. Hhhh...aku mulai menarik napas masygul. Aku melirikmu yang masih menikmati novel "Jejak Langkah".
                "Aku menyesal." Ujarku pelan akhirnya. Entahlah, pikiranku tak lagi dapat dibendung. Kau menengadahkan kepalamu, membiarkan novelmu terbuka. menatapku dengan bingung seraya tersenyum. Jilbab putih berkibar tertiup angin yang berhembus pelan. Ahh...kau memang selalu terlihat anggun dengan jilbab yang lebar itu. Tidak sepertiku yang masih ragu-ragu untuk memakai jilbab yang sepanjang milikmu. Aku jadi teringat kata-katamu dulu, saat aku memutuskan untuk memakai kerudung, wanita berjilbab itu berbeda. Bukan karena jilbab yang ia pakai, melainkan karena ia selalu ingin menjadi lebih baik.
                "Marsha terpilih sebagai perwakilan sekolah untuk konferensi remaja se-Indonesia karena esainya yang tentang lingkungan begitu menggugah. Ia serius membuatnya." Lanjutku sembari menatap lapangan luas di depan mataku. Kau tahu, bahwa Marsha dan aku adalah rival dalam segala hal, dan buatku, kalah oleh Marsha adalah sesuatu yang masih bisa belum kuterima, seperti sekarang. Kau masih tetap terdiam, mendengarkan.  
                "Aku menyesal, kenapa aku nggak lebih serius buat bikin esainya. Aku pasti dan yakin bisa lebih baik daripada Marsha. Cuman, kemarin-kemarin aku..." Aku menggantungkan kalimatku. Entah harus melanjutkan apa.
                Lagi-lagi kau tersenyum, seraya berkata, "Lantas, ada gunanya menyesal?" Tanyamu datar.
                Aku tersentak dengan satu kalimatmu yang tenang namun berkesan kuat. Aku terdiam. Kemudian kau mengulang kalimatmu, "Sekarang, ada gunanya tidak kamu menyesal?" Aku masih terdiam. Aku menggigit bibir, mengalihkan pandanganku darimu.
                Aku menggeleng perlahan. Kali ini, senyummu melebar. "Kalau hanya membuat alasan saja, anak kecil juga bisa. Manusia itu pintar lho dalam membuat seribu satu alasan untuk menutup-nutupi kesalahannya. Kayak misalnya, kamu telat, terus ditanya, kenapa telat? kamu bisa beralasan, tadi macet di jalan, terus ditanya lagi, kenapa berangkatnya nggak lebih pagi? Kamu jawab, tadi bangun kesiangan. Terus ditanya lagi, kenapa bisa bangun kesiangan? Kamu jawab, nggakada yang ngebangunin. Ditanya lagi,   kenapa nggak bangun sendiri, nggak punya jam beker? Kamu bisa jawab, lupa nyalain beker, atau bekernya batereinya habis, dan lain sebagainya...iya nggak? Kalau hanya membuat alasan, masalah nggak akan terselesaikan begitu saja... Tapi justru menambah masalah."
                "Kalau kita bisa bijaksana sedikit...saja dalam menjalani hidup, pasti kita akan merasakan keajaiban-keajaiban yang luar biasa yang tersembunyi dalam kehidupan kita..."
                "Menyesal nggak menyelesaikan masalah. Sesekali boleh menyesal. Namanya juga manusia. Sesekali butuh jatuh, untuk merasakan rasanya jadi orang-orang yang di bawah dan biar nggak pongah dalam kehidupan ke depannya. Tapi, kalau terus-terusan jatuh, lantas menyesal dan nggak bangkit, kapan kita bisa menyelesaikan masalah yang kita sesali?
                Semua butuh proses. Mungkin sekarang kamu lagi jatuh. Tapi, kalau kamunggak mengambil langkah untuk bangkit, kapan mau bangkit? Kegagalan adalah cara Tuhan untuk mengatakan, 'ambil jalan lain'. Iya kan?" Kau menyelesaikan kata-katamu. Seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu tersihir dengan kata-katamu tentang kehidupan. Ahh...aku tahu, pengalamanmu memang lebih banyak dalam menjalani kehidupan ini, dibanding aku yang selama ini selalu hidup enak di lingkungan yang enak pula. Sementara kamu, bahkan merasakan tinggal di penjara anak-anak saja kau sudah pernah. Dan, kemudian, seperti ceritamu, kau bangkit setelah bertemu dengan Tuhanmu dalam shalatmu yang pertama di kelas 2 SMP.
                Kali ini, aku ikut tersenyum. Merasakan angin yang berhembus lembut menerpa wajah dan memainkan ujung jilbab kita berdua. Pembicaraan kita di lapangan kali ini, benar-benar terpatri rapih dalam ingatanku-hingga seolah tak mau hilang. Dan setiap kali aku jatuh karena lelah, aku selalu mengingat kata-katamu. Kemudian, seandainya aku kesulitan untuk bangun dari jatuh, maka kau akan menarik lenganku, membantuku berdiri untuk kemudian bangkit kembali.
                Terima kasih, kawan...

diposkan juga di : kitanulisapa.blogspot.com 

Ketika Aku Membenci Ibu

Ini hanya cerita lama. Cerita yang mungkin menurut sebagian besar orang tidak menarik.Tapi, biarkanlah aku menceritakannya padamu, biar hati ini lega karena telah mengungkapkannya-apa yang selama ini selalu kutahan dan kusimpan dalam-dalam.
Sore itu, angin berhembus pelan, masuk perlahan melalui celah jendela kamarku yang terbuka sedikit.Semburat merah masih mengawang di langit sore yang meninggalkan kesan damai dalam hati.Aku terdiam.Menarik nafas panjang. Hhhhhhhhhhhhh… teringat akan Ibu yang sedang menjalani operasi di rumah sakit. Mataku memerah.Panas.Menghela nafas lagi.Mulutku komat-kamit, berdo’a bagi keselamatan Ibu.
Padahal, baru saja, tidak lama kok…baru enam bulan terakhir ini, sejak aku masuk SMA, aku baru dekat dengan Ibu.Baru sering berbagi cerita semasa sekolah dengan Ibu. Baru sering hang outbersama ibu, ke mall, mencari baju, wisata kuliner, atau bahkan kalau rezeki ibu belum turun, hanya sekadar mencuci mata sambil bercerita. Tidak lama kok, baru enam bulan terakhir ini aku sering bercerita soal cinta yang sedang melanda hatiku.Baru saja.Belum lama.Enam bulan bukan waktu yang lama.Hanya seper tigapuluh dari kehidupanku sejak aku lahir hingga sekarang.
Tidak.Aku tidak dekat dengan Ibu sejak kecil.Bagiku, sosok ibu sulit dijangkau.Sosok ibu bagai diselimuti kabut.Sewaktu kecil, aku sering iri dengan adik sepupuku. Tante Septi, adalah ibu idaman menurutku. Beliau tidak pernah memarahi anaknya sebab kesalahannya.Sementara aku?Bahkan, aku mengerjakan sesuatu yang disuruh Ibu pun, aku masih dimarahi.Entah kenapa.
Sesak.Aku teringat waktu aku masih duduk di Taman Kanak-Kanak dulu.Ibu tidak pernah menemaniku di dalam kelas. Sampai aku menangis pun, pada akhirnya, Bu Meta, salah satu guruku lah yang menggendongku, mengajakku bermain, mendiamkanku. Ibu tidak pernah masuk ke dalam kelasku. Hanya berdiri memandang di depan kelas, bahkan pergi dari TK ku. Sekali aku keluar mengejar Ibu, beliau pasti menyuruhku masuk ke dalam kelas lagi.Berkata dengan nada ketus,“Udah sana! Balik ke kelas! Jangan jadi anak manja!”aku menangis saat itu, ditonton seluruh anak-anak di Taman Kanak-Kanak. Sejak saat itu, aku berpikir bahwa ibu tidak sayang padaku.Ibu tidak peduli pada anaknya.
Hhhhhhhhh…aku menghela nafas lagi.Kali ini air mataku benar-benar menetes sebutir-sebutir di pipiku.Sewaktu di Sekolah Dasar, segemilang apapun prestasi yang kudapat, ibu tidak pernah memberiku hadiah.Tidak pernah mengungkitnya di depanku.Hanya seulas senyuman tipis di bibirnya.Hanya itu.Dulu, aku iri.Iri dengan teman-temanku.Setiap kali masuk tahun ajaran baru, bu guru atau pak guru pasti bertanya kepada para anak-anak yang berprestasi, termasuk aku,“Dapat apa dari ayah dan ibunya?”dan setiap anak menjawab dengan semangat,“Dapat tas pak!”atau“Dapat sepatu pak!”dan yang lebih mengesankan lagi “Dapat sepeda pak!”. Jujur, aku iri dengan mereka yang mendapat apresiasi  atas prestasi yang diraihnya.
Dulu juga, setiap kali aku bercerita masalahku kepada Ibu.Ibu tak pernah menanggapi. Dengan santai beliau berkata, “itu kan salahmu!”atau “Cobalah berpikir dari sisi orang lain, jangan hanya dari dirimu sendiri!”.Dulu, aku yang masih kecil, kesal dengan tanggapan ibu, yang menurutku-tidak menghasilkan jalan keluar.
Aku juga kesal, kalau sudah membahas PR dari guru.Ibu SAMA SEKALI tidak pernah membantuku.Pasti ngeles kalau ibu sudah lupalah, ibu sedang sibuklah, dan macam-amacam alasannya.Makanya, aku tidak pernah bertanya apapun kepada ibu.Tidak pernah bercerita apapun pada ibu.Rasanya hanya interaksi kosong di antara kita.
Hingga akhirnya, saat SMP, aku masuk sekolah berasrama yang jauh dari rumah. Sengaja! Aku bosan dengan suasana rumah! Aku ingin menghindari ibu sejauh-jauhnya! Aku nggak tahan berada dekat ibu! Aku nggak tau harus berbicara apa kalau berhdapan dengan ibu! Aku ingin menghindari suasana kosong ini.Ingin suasana baru.Tidak ingin diam saja.Aku iri dengan teman-temanku yang punya ibu yang baik.Bahkan, ibu hanya mengantarku dan langsung pulang, ketika seharusnya aku masuk ke sekolah asrama.
Aku benci mengakui ini. Aku benci mengakui bahwa, ketika ditinggal ibu, aku merasa kehilangan beliau! Aku benci mengakui setiap kali melihat teman-teman dijenguk oleh ibunya, aku juga teringat akan ibu! Aku benci mengakui bahwa ternyata aku butuh ibuku! Aku benci mengakui bahwa setiap air mata yang menetes dari mataku adalah untuk ibuku! Dan aku benci mengetahui bahwa aku nyaman berada dekat dengan ibuku…
Aku benci.
Aku benci. Tapi, ternyata memang ini yang kurasakan! Kerinduan yang mendalam ini memang tertuju pada ibuku! Bukan kakak-kakakku, bukan ayahku, apalagi teman-temanku. Kerinduan ini memang untuk ibuku! Bukan untuk siapa-siapa… hanya untuk ibu…
Hhhhhh…aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.Menatap langit yang masih memerah.Tes…tes…Ibu… seandainya aku tahu lebih cepat.
Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa ibu tidak pernah mau tinggal di kelasku sewaktu aku TK adalah agar aku yang anak bungsu tidak selalu bergantung pada ibu.Agar aku yang anak bungsu, berani menghadapi orang-orang yang ada di sekitarku. Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa ibu sebenarnya selalu membicarakanku yang mendapat prestasi di depan teman-temannya, dan beliau tidak pernah mau memujiku berlebihan adalah agar aku tidak mudah puas dengan apa yang sudah kuterima. Seandainya aku tahu lebih cepat bahwa, ibu selalu berkata “itu kan salahmu!”atau “Cobalah berpikir dari sisi orang lain, jangan hanya dari dirimu sendiri!” adalah agar aku benar-benar berpikir objektif, agar aku selalu mengintropeksi diriku sendiri dan tidak melulu menyalahkan kondisi ataupun orang lain. Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa ibu sebenarnya berusaha dengan keras mencari jawaban-jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan setiap kali membahas PR di luar sepengatahuanku.
Dan seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa selama aku bersekolah di sekolah berasrama, ibu selalu menangis untukku. Setiap kali makan makanan yang kusukai, ibu menangis, memikirkan “Anakku di sana makan apa ya? Apakah dia makan makanan yang disukainya? Atau hanya sekadar makan nasi dengan tempe?”. Setiap kali ibu nonton tv, ibu menangis dan berpikir “di sana anakku nggak bisa nonton film yang disukainya bersamaku lagi. Dia harus belajar terus-terusan…”. Setiap kali ibu tidur di kasurnya, ibu menangis, lagi-lagi berpikir tentang aku, si anak bungsunya, “di sana, apakah anakku tidur dengan nyaman?”. Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa di setiap sujud ibu, ibu menangis, menghamba pada Yang Maha Esa, agar aku, si anak bungsunya, yang tidak penah dekat dengannya, yang selalu menghindarinya, yang selalu  mencacimakinya walau hanya dalam bathin, selalu sehat, sukses, bahagia, dan mendapatkan lingkungan yang baik.
Seandainya aku tahu lebih cepat bahwa ibu selalu khawatir akan diriku…
Selalu khawatir setiap kali aku pulang telat dari sekolah…
Selalu khawatir ketika aku sakit, sekalipun aku tidak memberitahunya. Ibu tahu aku sakit! Padahal, menelponnnya saja aku tidak! Ibu tahu aku banyak masalah! Padahal berbicara dengannya saja aku tidak! Ibu selalu tahu kondisiku! Padahal…aku menjauhinya…
Ya…Allah… Seandainya aku dekat dengan ibu lebih cepat…
Isak tangisku mengeras ketika memikirkan ibu.Harap-harap cemas.Khawatir jika ibu kenapa-napa.Khawatir jika aku tak lagi dapat bertemu dengan ibu…Hhhhhhhhhh…aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.Merebahkan kepalaku di atas bantal.Menatap langit-langi kamar dengan air mata yang masih terus mengalir.
Ibu…
Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk pelan. “Dik?” Tanya sebuah suara di luar sana.
“Ya Mas?” jawabku berusaha menyembunyikan getar dalam nada suaraku.
“Ibu telepon tuh, katanya mau ngomong sama kamu!”
“Lho?!Operasinya udah selesai Mas?”
“Udah dari beberapa jam yang lalu kok…Cepet gih, ditungguin tuh!”
“Iya! Iya!” aku menyeka air mataku dan segera berlari keluar kamar, menyambar gagang telepon yang dipegang kakakku yang lain.
“Halo, Assalamu’alaikum?” ucapku pelan.
“Wa ‘alaikum salam Dik…” jawab ibu. Suaranya terdengar amat lelah.
“Ibu?Ibu gimana operasinya…?” tanyaku menahan tangis.
Kemudian ibu bercerita panjang tentang pengalamannya sehari penuh di rumah sakit.Sesekali tertawa.Sesekali mengeluh.Sesekali serius.Dan tertawa lagi.
“Yaudah Dik, belajar gih, besok ada ulangan apa?” Tanya ibu seakan mau mengakhiri teleponnya.
“Nggak ada ulangan kok Bu.”
……. Sesaat kita berdua diam. Meresapi setiap pembicaraan.
“Bu?” panggilku.
“Hmm?”
“Aku sayang Ibu, Aku mau minta maaf sama Ibu, selama ini aku nggak pernah berbakti sama Ibu…” tangisku pecah tak tertahankan. Entah bagaimana caranya, aku merasa bahwa di seberang sana Ibu tersenyum menanggapi setiap tangisku. Beliau menunggu lama sekali hingga aku selesai menangis.
“Ibu tahu kok.Ibu juga sayang adik. Sayang banget…”
“Maaf ya Bu…”
“Maaf kenapa?Nggak ada yang perlu dimaafin, dalam hidup yang namanya salah adalah sesuatu yang biasa, tinggal bagaimana kita menghadapinya saja.Ibu nggak pernah merasa didurhakai kok…hahahaha” Ibu tertawa kecil menanggapi.Aku tersenyum. Menghapus air mataku.
“Udah sana belajar! Udah ya…Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam…” aku menutup gagang telepon. Terisak kembali.
Ya…Allah, betapa Engkau telah memberiku Ibu yang amat baik bagiku…
Terima kasih Allah…

Sketsa...! (2)

Just sleep, if you are sleepy

Sketsa...!

Ambillah jalan mana pun yang kamu sukai

Jalan manapun yang kamu ambil akan membawamu pada satu kewajiban sebagai generasi penerus, "membangun negeri ini"

Tapi ingat, jalan manapun yang kau pilih, akan selalu ada tangga untuk dinaiki, akan selalu ada lubang untuk jatuh, akan selalu ada kubangan yang akan membuatmu terpeleset, akan selalu ada rintangan untuk dihadapi...

Ayahku seorang jagoan


Kau kenal ayahku? Kalau tidak kenal, akan kukenalkan kau pada Ayahku sang jagoan segala bidang.
Aku sulung dari tujuh bersaudara. Aku sudah tinggal berdua dengan ayah sejak sebelum adik-adikku lahir dari rahim ibu. Makanya, Aku mengenal ayah lebih baik dari siapapun yang ada di rumah ini. Bahkan lebih dari ibu karena ada hal-hal tentang ayah yang tidak ibu ketahui sebagai istrinya!
Aku lahir di Kota ini sekitar 15 tahun lalu, saat itu aku pertama kali mengenal ayah sebagai seorang ‘bilal’. Suara lantangnya saat adzan dan iqomah meneyeruak ke dalam telingaku. Menggelegak memenuhi rongga dada. Begitu menenangkan. Begitu mengesankan. Hingga rasanya… tangisku tak lagi tertahankan.
Perlahan aku tumbuh besar. Saat aku berumur 1-9 bulan, aku mengenal ayah sebagai seorang jagoan dalam menyanyi. Ayah menyanyikan banyak lagu untukku. Mulai dari lagu ‘Pok Ame Ame Belalang Kupu-Kupu’ hingga ‘Sleeping Child’nya Michael Learn to Rock. Mulai dari ‘Becak… Becak… tolong bawa saya…’ hingga ‘I’m living… on a jet plane…”. Ah… iya, tak ketinggalan juga keroncong jawa serta gendhing-gendhing saktinya! Mungkin kalau ayah ikut kuis ‘tebak lagu’ seperti yang di TV itu, ayah bisa mendapat juaranya! Tapi, ayah kurang setuju dengan pengadaan kuis-kuis-yang kata ayah-‘tidak bermutu’ itu. Memperlihatkan kalau orang Indonesia sukanya main-main. Ng… eh sebentar, aku lupa, walaupun ayah jago menyanyi, tapi tidak untuk dangdut! Ayah tidak suka perdangdutan-lebih karena kebiasaan orang Indonesia kalau dangdutan, ‘kehebohan’ yang seharusnya tidak dipertontonkan malah jadi kian marak.
Lalu saat aku batita aku mengenal ayah sebagai ‘pembuat mainan’ yang handal. Ayah banyak membuatkanku mainan, yah… walaupun dari barang-barang bekas, biar sampah nggak semakin menumpuk katanya? Seperti itulah kira-kira. Ayah membuatkan aku gasing dari karet sandal yang tidak terpakai dan paralon bekas. Yang lain lagi… ada mobil-mobilan dari kulit jeruk bali. Lalu ada juga  pesawat-pesawatan dari steorofoam bekas, yang baling-balingnya terbuat dari kaleng minuman yang diputar dengan bantuan dinamo.  Ayah hanya sekali-kali membelikanku mainan, hanya sekadar ‘biar aku tahu’ atau semacam juga ‘biar aku juga pernah merasakan mainan-mainan yang anak-anak biasa mainkan’. Selebihnya, ayah lebih suka membuatkan aku mainan.
                Saat aku memasuki masa balita, aku baru tahu ayah mahir bersepeda, sekalipun ayah bukan pembalap sepeda. Beliau mengajakku berkeliling kota dan tak jarang juga hingga ke kota tetangga. dengan sepeda onthel miliknya. Kadang-kadang ayah bersepeda dengan lambat saat memberi pelajaran tentang ‘alam dan fenomena yang terjadi di sekitar kita’, terjadinya hujan misalnya, atau bagaimana siang hari bisa berganti malam. Kadang-kadang pula ayah ngebut, terutama saat hari sudah terlalu sore atau saat ibu memanggilnya melalui ponsel ayah-hingga rasanya seperti sedang menaiki wahana rollercoaster di taman bermain. Wuhuuuuuuu!! Kemudian, kalau sudah lelah, ayah suka berhenti di perempatan jalan sebelum belok ke rumah. Karena di sana ada warung yang menjual es kelapa. Di sana aku dan ayah menikmati es kelapa, dan pulang dengan sekantung es kelapa lagi untuk ibu.
                Di bangku SD, aku tahu ayah jago menyetir motor ataupun mobil. Beliau sering mengantarkan aku dan adik-adikku ke sekolah dengan menggunakan mobil (jelas saja, kalau mengantar aku dan keenam adikku tidak mungkin dengan motor kan?), dan kalau hanya aku sendiri, ayah mengantarku dengan motor. Whuuuuuuzzzz! Ayah menyetir sudah seperti pembalap di TV! Yah~ aku tahu, aku tahu, ayah memang bukan pembalap beneran, makanya ayah masih suka menyetir lambat, apalagi kalau suasana di dalam mobilnya tiba-tiba hening, alias sudah pada tertidur. Eits, tapi jangan salah, biar ngebut ataupun lambat, ayah tetap mematuhi aturan lalu lintas yang ada. Dan kalau ibu sedang tidak ikut dalam perjalanan (jadi, hanya aku, ayah, dan adik-adikku), ayah sering menyuruhku untuk duduk di sampingnya, biar aku, si sulung, bisa tahu persis jalan-jalan yang kami lewati, dan nantinya bisa menunjukkan pula ke adik-adik.
                Saat aku SMP dan mulai mahir bermain gitar (aku pelajari secara otodidak lho~!), aku mengenal ayah sebagai jagoan dalam bermain gitar. Walaupun sebelum-sebelumnya aku tahu ayah bisa main gitar, namun baru SMP ini aku lihat ayah jago dalam bermain gitar! Ayah jago mencari chord-chord lagu yang sama-sama kami belum tahu dan kemudian memainkannya bersamaku di depan rumah. Ayah juga yang mengajarkanku trik-trik bermain gitar yang baik. Dan sampai akhirnya, saat aku membentuk band bersama teman-teman sekolah, ayah pula yang menjadi penasihat kami. Sekalipun ayah bukan musisi.
                Masuk ke jenjang pendidikan SMA, aku mengenal ayah sebagai seorang yang jago melukis. Aku baru melihat ayah melukis saat SMA ini, katanya, mengisi masa senja? Ayah bisa melukis aaapaaa sajaaa. Mulai dari semut hingga gunung tinggiiii, mulai dari ibu sampai Niyalah, adik terkecilku, dan juga desa sampai kota! Semua bisa ayah gambar deh! Sekalipun seperti sebelumnya, ayahku bukan pelukis. Ayah hanya hobi melukis, katanya. Dan beliau tidak berniat untuk menjadikan hobinya sebagai mesin pencari uang. Ayah juga pernah bilang hobi itu sekadar untuk mengisi waktu luang, sekadar untuk mengalihkan pikiran, dan suka-suka untuk sedikit mewarnai kehidupan yang penuh dengan warna hitam, putih, dan abu-abu ini.
                Aku yang tahu lebih banyak sisi baik ayah daripada adik-adikku yang masih kecil-kecil. Walaupun ayah suka mengomel masalah pendidikan ini itu, masalah politik ini itu, masalah ekonomi ini itu, aku tahu, ayah berniat mendidik kami-anak-anaknya-supaya menjadi warga negara yang baik dan dapat mengabdi sepenuh hati kepada negara.
                Ayah seorang kritikus keras terhadap krisis moral yang terjadi di sekitar pemerintahan negara ini. Saat aku masuk SMP, ayah pernah bilang, "Yang dibutuhkan negara ini hanya satu, lebih dari sekadar kecerdasan, lebih dari sekadar kepintaran, lebih dari sekadar sumber daya alam yang melimpah, juga lebih dari sekadar sumber daya manusia yang berkompeten. Ada hal lain yang lebih penting daripada itu semua, yaitu kejujuran." Ayah bilang, kalau semua orang Indonesia bisa jadi orang jujur nggak perlu ada penjara baik buat yang mencuri ayam tetangga sebelah atau mencuri bertrilyun-trilyun uang rakyat. Kemudian aku berpikir, 'ntar polisi nggak ada kerjaan, dong?'. Tapi, ayah berpikir lain, kalau polis tugasnya menjaga keamanan yang lain, nggak usahlah mengurusi pencurian-pencurian itu.
                Ayahku juga tahu banyak hal. Banyaaak sekali, lebih banyak dari ilmuwan! lebih banyak daripada orang-orang pintar itu! Ayah tahu mulai dari hal sosial sampai sains, mulai dari agama sampai atheis, mulai dari seni rupa sampai seni musik! Ayahku jagoan, kan?
                Sssstt.. tapi, satu kelemahan ayah yang sudah menjadi rahasia umum. Mmm... sebelum aku mengatakannya padamu, kau mau berjanji kan untuk tidak berbicara pada siapapun? OK, Ayahku takut untuk pergi ke dokter gigi... 


Kita Sebut itu "Kenangan"

Sudah sekian lama pensil ini terpaku
Tangan pun sudah kelu
Lelah bergerak ke sana ke mari
Menuliskan setiap memori
Ingatan tentang kita selama ini

Kita tertawa hingga menangis
Kita terisak hingga tersenyum
Kita emosi hingga merenung

Ah! Ternyata itu sudah lama ya?!
Rasanya baru kemarin kita bertemu
Rasanya baru kemarin kita menertawakan diri masing-masing
Rasanya baru kemarin kita menangis di lorong bersama
Rasanya baru kemarin kita tengah berantem
Lantas berbaikan..
                         Ah....
                                    Rasanya baru kemarin....
                                                                          Iya kan,
                                                                                       Kawan?

Dan sekarang kita harus bersama-sama menjejaki masa tua kita
Lantas berpisah dengan masa lalu
Dan suatu saat nanti, kita sebut itu "kenangan"

Sudikah Kau, Kawan?



Seandainya bisa, aku ingin terus berada di sampingmu
Tersenyum bersamamu
Sembari bergandengan tangan
Kita tertawa bersama
Terkadang pertengkaran kecil mewarnainya
Ditambah sedikit bumbu dari tangis kita bersama
Dan akhirnya
Sambil menatap satu sama lain
Kita tersenyum
Berucap maaf
Dan kembali tertawa
***
Seandainya bisa, aku tak ingin waktu memisahkan kita
Hingga kita tak lagi saling menatap
Dan sedikit obrolan tak lagi pernah terucap
Bahkan sapaan sedikit terlontar
Tak ada lagi tukar hadiah di hari ulang tahun
Yang ada hanya
Aku di sini dan kamu di sana
***
Seandainya bisa, aku ingin kita tetap bersama
Sekalipun banyak hal yang menghalangi kita bertemu
Tetap saling tersenyum
Dan berjabat tangan
Saling menguatkan
Dengan menepuk punggung satu sama lain
Sembari berkata, "yang kuat!"
Dan pelukan-pelukan hangat
Di sela tangis penyesalan
Atau sedikit berbagi makanan di tengah candaan kita
***
Seandainya bisa, Sudikah kau tetap bersamaku, Kawan?


August, 26th 2011