Selasa, 06 September 2011

Sedikit Obrolan di Lapangan Bola

   Kau ingat saat aku mengajakmu bicara, kawan? 

                Siang itu matahari tak malu-malu menampakkan dirinya, seolah menantang setiap orang yang berjalan santai di luar ruangan tanpa pendingin. Langitnya berwarna biru muda lengkap dengan awan cumolo-nimbus yang terlukis indah di sana. Angin pun mendukung pemandangan indah itu dengan berhembus sepoi-sepoi, tidak kencang , namun tetap ada.
                Aku ingat betul, hari itu hari Jumat, hari dimana sekolah kita terasa begitu lenggang-karena pelajaran-pelajarannya yang tidak terlampau berat. Tapi, hari itu, aku harus melaksanakan ujian susulan matematika. Aku pun membawa buku matematika ke kelas, walaupun hari itu tidak ada pelajaran matematika. Mencoba membaca-baca, meski aku tahu matematika tidak cukup hanya dengan dibaca, namun juga berlatih. Tapi, entahlah, rasanya untuk memegang pulpen saja aku malas, apalagi menulis!
           BRAAAKKK! Tiba-tiba meja di sebelahku digebrak keras oleh teman kita. Dia Surya, anak keturunan Tionghoa itu benar-benar mengamuk sekarang, setelah setengah jam sebelumnya tarik ulur dengan Farid-ketua kelas kita, tentang pembagian kelompok untuk presentasi makalah fisika.
“MANA BISA YANG SEPERTI ITU DIANGGAP KELOMPOK, RID!” Teriaknya kencang. Terdengar seperti hampir menghabiskan seluruh energinya hanya untuk berteriak kepada Farid.
“Ya…dicoba ajak dia aja lah, Sur…” Ujar Farid, mencoba menenangkan emosi Surya yang meluap-luap. Entah kenapa, kelas ber-AC itu kini sudah tidak lagi dingin, seolah mendukung kenaikan emosi Surya.
“GUE UDAH NGAJAK DIA BERAPA KALI, RID! TAPI, DIA DIEM AJA! GUE UDAH KAYAK NGOMONG SAMA TEMBOK TAU NGGAK!” Teriak Surya lagi sembari mengacung-acungkan telunjuknya ke langit. Farid bicara lagi dengan tenang. Ah…Farid, Farid, ketua kelas kita yang satu itu, padahal sering sekali Surya dan gengnya membentak-bentak dia, tapi dia tetap tenang dan bijaksana dalam mengambil keputusan. 
                 Tadinya aku ingin mencoba bertahan di dalam kelas sambil berusaha mengerti setiap kalimat matematika yang tertulis di buku catatanku. Tapi, ternyata, aku sama sekali tidak bisa konsentrasi dengan Surya-yang duduk di sebelahku berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Maka, aku memutuskan untuk pergi ke tempat favorit kita berdua, lapangan bola. Entahlah, kita selalu suka lapangan bola yang sedang sepi. Warna hijau rumputnya seolah meredam segala emosi dan pikiran yang berkecamuk.  Namun anehnya, kita berdua selalu menghindari lapangan bola saat ramai.
                Aku berdiri dari bangkuku sembari menutup buku catatan matematikaku yang kusampul dengan kertas kado warna pink. Dengan kesal karena merasa terganggu, aku pun menghentakkan kakiku keluar kelas dan segera menuju lapangan bola. Namun, baru beberapa langkah keluar kelas, aku kembali lagi, menghampirimu yang sedang membaca novel “Jejak Langkah”-nya Pramoedya Ananta Toer di sudut kelas. Seketika aku menghampirimu, kau tersenyum. Ah…senyummu manis sekali, kawan. Kau tahu, senyumanmu itu selalu berhasil meredakan aku yang selalu meledak-ledak.   
                “Ke lapangan bola, yuk!” Ajakku sembari membalas senyumanmu. Kau mengangguk, sembari berdiri dan menutup novel yang sejak kemarin kau bawa-bawa kemana-mana.
                “Ayuk!” Jawabmu sembari berjalan mengiringiku keluar kelas dan menuju lapangan bola.
                Ah…lapangan bola. Seperti yang sebelum-sebelumnya. Ketika kita kemari, kita selalu memilih bangku penonton yang paling tengah, seolah dengan duduk di sana semua pemandangan yang ada di lapangan dapat tertangkap oleh mata kita. Aku duduk diam. Begitu juga denganmu. Kita lama terdiam-seperti juga sebelum-sebelumnya. Kemudian, masing-masing dari kita mulai menyibukkan diri dengan buku yang kita bawa. Kegiatan-kegiatan itu seolah menjadi ritual sakral setiap kali kita duduk di bangku tengah di lapangan bola ini. 
                Aku mulai mencoba satu-satu soal yang ada di buku. Namun ternyata, kehadiranmu di sampingku menggodaku untuk berbicara perihal masalah yang sedang berkecamuk dalam pikiranku. Hhhh...aku mulai menarik napas masygul. Aku melirikmu yang masih menikmati novel "Jejak Langkah".
                "Aku menyesal." Ujarku pelan akhirnya. Entahlah, pikiranku tak lagi dapat dibendung. Kau menengadahkan kepalamu, membiarkan novelmu terbuka. menatapku dengan bingung seraya tersenyum. Jilbab putih berkibar tertiup angin yang berhembus pelan. Ahh...kau memang selalu terlihat anggun dengan jilbab yang lebar itu. Tidak sepertiku yang masih ragu-ragu untuk memakai jilbab yang sepanjang milikmu. Aku jadi teringat kata-katamu dulu, saat aku memutuskan untuk memakai kerudung, wanita berjilbab itu berbeda. Bukan karena jilbab yang ia pakai, melainkan karena ia selalu ingin menjadi lebih baik.
                "Marsha terpilih sebagai perwakilan sekolah untuk konferensi remaja se-Indonesia karena esainya yang tentang lingkungan begitu menggugah. Ia serius membuatnya." Lanjutku sembari menatap lapangan luas di depan mataku. Kau tahu, bahwa Marsha dan aku adalah rival dalam segala hal, dan buatku, kalah oleh Marsha adalah sesuatu yang masih bisa belum kuterima, seperti sekarang. Kau masih tetap terdiam, mendengarkan.  
                "Aku menyesal, kenapa aku nggak lebih serius buat bikin esainya. Aku pasti dan yakin bisa lebih baik daripada Marsha. Cuman, kemarin-kemarin aku..." Aku menggantungkan kalimatku. Entah harus melanjutkan apa.
                Lagi-lagi kau tersenyum, seraya berkata, "Lantas, ada gunanya menyesal?" Tanyamu datar.
                Aku tersentak dengan satu kalimatmu yang tenang namun berkesan kuat. Aku terdiam. Kemudian kau mengulang kalimatmu, "Sekarang, ada gunanya tidak kamu menyesal?" Aku masih terdiam. Aku menggigit bibir, mengalihkan pandanganku darimu.
                Aku menggeleng perlahan. Kali ini, senyummu melebar. "Kalau hanya membuat alasan saja, anak kecil juga bisa. Manusia itu pintar lho dalam membuat seribu satu alasan untuk menutup-nutupi kesalahannya. Kayak misalnya, kamu telat, terus ditanya, kenapa telat? kamu bisa beralasan, tadi macet di jalan, terus ditanya lagi, kenapa berangkatnya nggak lebih pagi? Kamu jawab, tadi bangun kesiangan. Terus ditanya lagi, kenapa bisa bangun kesiangan? Kamu jawab, nggakada yang ngebangunin. Ditanya lagi,   kenapa nggak bangun sendiri, nggak punya jam beker? Kamu bisa jawab, lupa nyalain beker, atau bekernya batereinya habis, dan lain sebagainya...iya nggak? Kalau hanya membuat alasan, masalah nggak akan terselesaikan begitu saja... Tapi justru menambah masalah."
                "Kalau kita bisa bijaksana sedikit...saja dalam menjalani hidup, pasti kita akan merasakan keajaiban-keajaiban yang luar biasa yang tersembunyi dalam kehidupan kita..."
                "Menyesal nggak menyelesaikan masalah. Sesekali boleh menyesal. Namanya juga manusia. Sesekali butuh jatuh, untuk merasakan rasanya jadi orang-orang yang di bawah dan biar nggak pongah dalam kehidupan ke depannya. Tapi, kalau terus-terusan jatuh, lantas menyesal dan nggak bangkit, kapan kita bisa menyelesaikan masalah yang kita sesali?
                Semua butuh proses. Mungkin sekarang kamu lagi jatuh. Tapi, kalau kamunggak mengambil langkah untuk bangkit, kapan mau bangkit? Kegagalan adalah cara Tuhan untuk mengatakan, 'ambil jalan lain'. Iya kan?" Kau menyelesaikan kata-katamu. Seperti sebelum-sebelumnya, aku selalu tersihir dengan kata-katamu tentang kehidupan. Ahh...aku tahu, pengalamanmu memang lebih banyak dalam menjalani kehidupan ini, dibanding aku yang selama ini selalu hidup enak di lingkungan yang enak pula. Sementara kamu, bahkan merasakan tinggal di penjara anak-anak saja kau sudah pernah. Dan, kemudian, seperti ceritamu, kau bangkit setelah bertemu dengan Tuhanmu dalam shalatmu yang pertama di kelas 2 SMP.
                Kali ini, aku ikut tersenyum. Merasakan angin yang berhembus lembut menerpa wajah dan memainkan ujung jilbab kita berdua. Pembicaraan kita di lapangan kali ini, benar-benar terpatri rapih dalam ingatanku-hingga seolah tak mau hilang. Dan setiap kali aku jatuh karena lelah, aku selalu mengingat kata-katamu. Kemudian, seandainya aku kesulitan untuk bangun dari jatuh, maka kau akan menarik lenganku, membantuku berdiri untuk kemudian bangkit kembali.
                Terima kasih, kawan...

diposkan juga di : kitanulisapa.blogspot.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar