Selasa, 06 September 2011

Ayahku seorang jagoan


Kau kenal ayahku? Kalau tidak kenal, akan kukenalkan kau pada Ayahku sang jagoan segala bidang.
Aku sulung dari tujuh bersaudara. Aku sudah tinggal berdua dengan ayah sejak sebelum adik-adikku lahir dari rahim ibu. Makanya, Aku mengenal ayah lebih baik dari siapapun yang ada di rumah ini. Bahkan lebih dari ibu karena ada hal-hal tentang ayah yang tidak ibu ketahui sebagai istrinya!
Aku lahir di Kota ini sekitar 15 tahun lalu, saat itu aku pertama kali mengenal ayah sebagai seorang ‘bilal’. Suara lantangnya saat adzan dan iqomah meneyeruak ke dalam telingaku. Menggelegak memenuhi rongga dada. Begitu menenangkan. Begitu mengesankan. Hingga rasanya… tangisku tak lagi tertahankan.
Perlahan aku tumbuh besar. Saat aku berumur 1-9 bulan, aku mengenal ayah sebagai seorang jagoan dalam menyanyi. Ayah menyanyikan banyak lagu untukku. Mulai dari lagu ‘Pok Ame Ame Belalang Kupu-Kupu’ hingga ‘Sleeping Child’nya Michael Learn to Rock. Mulai dari ‘Becak… Becak… tolong bawa saya…’ hingga ‘I’m living… on a jet plane…”. Ah… iya, tak ketinggalan juga keroncong jawa serta gendhing-gendhing saktinya! Mungkin kalau ayah ikut kuis ‘tebak lagu’ seperti yang di TV itu, ayah bisa mendapat juaranya! Tapi, ayah kurang setuju dengan pengadaan kuis-kuis-yang kata ayah-‘tidak bermutu’ itu. Memperlihatkan kalau orang Indonesia sukanya main-main. Ng… eh sebentar, aku lupa, walaupun ayah jago menyanyi, tapi tidak untuk dangdut! Ayah tidak suka perdangdutan-lebih karena kebiasaan orang Indonesia kalau dangdutan, ‘kehebohan’ yang seharusnya tidak dipertontonkan malah jadi kian marak.
Lalu saat aku batita aku mengenal ayah sebagai ‘pembuat mainan’ yang handal. Ayah banyak membuatkanku mainan, yah… walaupun dari barang-barang bekas, biar sampah nggak semakin menumpuk katanya? Seperti itulah kira-kira. Ayah membuatkan aku gasing dari karet sandal yang tidak terpakai dan paralon bekas. Yang lain lagi… ada mobil-mobilan dari kulit jeruk bali. Lalu ada juga  pesawat-pesawatan dari steorofoam bekas, yang baling-balingnya terbuat dari kaleng minuman yang diputar dengan bantuan dinamo.  Ayah hanya sekali-kali membelikanku mainan, hanya sekadar ‘biar aku tahu’ atau semacam juga ‘biar aku juga pernah merasakan mainan-mainan yang anak-anak biasa mainkan’. Selebihnya, ayah lebih suka membuatkan aku mainan.
                Saat aku memasuki masa balita, aku baru tahu ayah mahir bersepeda, sekalipun ayah bukan pembalap sepeda. Beliau mengajakku berkeliling kota dan tak jarang juga hingga ke kota tetangga. dengan sepeda onthel miliknya. Kadang-kadang ayah bersepeda dengan lambat saat memberi pelajaran tentang ‘alam dan fenomena yang terjadi di sekitar kita’, terjadinya hujan misalnya, atau bagaimana siang hari bisa berganti malam. Kadang-kadang pula ayah ngebut, terutama saat hari sudah terlalu sore atau saat ibu memanggilnya melalui ponsel ayah-hingga rasanya seperti sedang menaiki wahana rollercoaster di taman bermain. Wuhuuuuuuu!! Kemudian, kalau sudah lelah, ayah suka berhenti di perempatan jalan sebelum belok ke rumah. Karena di sana ada warung yang menjual es kelapa. Di sana aku dan ayah menikmati es kelapa, dan pulang dengan sekantung es kelapa lagi untuk ibu.
                Di bangku SD, aku tahu ayah jago menyetir motor ataupun mobil. Beliau sering mengantarkan aku dan adik-adikku ke sekolah dengan menggunakan mobil (jelas saja, kalau mengantar aku dan keenam adikku tidak mungkin dengan motor kan?), dan kalau hanya aku sendiri, ayah mengantarku dengan motor. Whuuuuuuzzzz! Ayah menyetir sudah seperti pembalap di TV! Yah~ aku tahu, aku tahu, ayah memang bukan pembalap beneran, makanya ayah masih suka menyetir lambat, apalagi kalau suasana di dalam mobilnya tiba-tiba hening, alias sudah pada tertidur. Eits, tapi jangan salah, biar ngebut ataupun lambat, ayah tetap mematuhi aturan lalu lintas yang ada. Dan kalau ibu sedang tidak ikut dalam perjalanan (jadi, hanya aku, ayah, dan adik-adikku), ayah sering menyuruhku untuk duduk di sampingnya, biar aku, si sulung, bisa tahu persis jalan-jalan yang kami lewati, dan nantinya bisa menunjukkan pula ke adik-adik.
                Saat aku SMP dan mulai mahir bermain gitar (aku pelajari secara otodidak lho~!), aku mengenal ayah sebagai jagoan dalam bermain gitar. Walaupun sebelum-sebelumnya aku tahu ayah bisa main gitar, namun baru SMP ini aku lihat ayah jago dalam bermain gitar! Ayah jago mencari chord-chord lagu yang sama-sama kami belum tahu dan kemudian memainkannya bersamaku di depan rumah. Ayah juga yang mengajarkanku trik-trik bermain gitar yang baik. Dan sampai akhirnya, saat aku membentuk band bersama teman-teman sekolah, ayah pula yang menjadi penasihat kami. Sekalipun ayah bukan musisi.
                Masuk ke jenjang pendidikan SMA, aku mengenal ayah sebagai seorang yang jago melukis. Aku baru melihat ayah melukis saat SMA ini, katanya, mengisi masa senja? Ayah bisa melukis aaapaaa sajaaa. Mulai dari semut hingga gunung tinggiiii, mulai dari ibu sampai Niyalah, adik terkecilku, dan juga desa sampai kota! Semua bisa ayah gambar deh! Sekalipun seperti sebelumnya, ayahku bukan pelukis. Ayah hanya hobi melukis, katanya. Dan beliau tidak berniat untuk menjadikan hobinya sebagai mesin pencari uang. Ayah juga pernah bilang hobi itu sekadar untuk mengisi waktu luang, sekadar untuk mengalihkan pikiran, dan suka-suka untuk sedikit mewarnai kehidupan yang penuh dengan warna hitam, putih, dan abu-abu ini.
                Aku yang tahu lebih banyak sisi baik ayah daripada adik-adikku yang masih kecil-kecil. Walaupun ayah suka mengomel masalah pendidikan ini itu, masalah politik ini itu, masalah ekonomi ini itu, aku tahu, ayah berniat mendidik kami-anak-anaknya-supaya menjadi warga negara yang baik dan dapat mengabdi sepenuh hati kepada negara.
                Ayah seorang kritikus keras terhadap krisis moral yang terjadi di sekitar pemerintahan negara ini. Saat aku masuk SMP, ayah pernah bilang, "Yang dibutuhkan negara ini hanya satu, lebih dari sekadar kecerdasan, lebih dari sekadar kepintaran, lebih dari sekadar sumber daya alam yang melimpah, juga lebih dari sekadar sumber daya manusia yang berkompeten. Ada hal lain yang lebih penting daripada itu semua, yaitu kejujuran." Ayah bilang, kalau semua orang Indonesia bisa jadi orang jujur nggak perlu ada penjara baik buat yang mencuri ayam tetangga sebelah atau mencuri bertrilyun-trilyun uang rakyat. Kemudian aku berpikir, 'ntar polisi nggak ada kerjaan, dong?'. Tapi, ayah berpikir lain, kalau polis tugasnya menjaga keamanan yang lain, nggak usahlah mengurusi pencurian-pencurian itu.
                Ayahku juga tahu banyak hal. Banyaaak sekali, lebih banyak dari ilmuwan! lebih banyak daripada orang-orang pintar itu! Ayah tahu mulai dari hal sosial sampai sains, mulai dari agama sampai atheis, mulai dari seni rupa sampai seni musik! Ayahku jagoan, kan?
                Sssstt.. tapi, satu kelemahan ayah yang sudah menjadi rahasia umum. Mmm... sebelum aku mengatakannya padamu, kau mau berjanji kan untuk tidak berbicara pada siapapun? OK, Ayahku takut untuk pergi ke dokter gigi... 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar