Selasa, 06 September 2011

Ketika Aku Membenci Ibu

Ini hanya cerita lama. Cerita yang mungkin menurut sebagian besar orang tidak menarik.Tapi, biarkanlah aku menceritakannya padamu, biar hati ini lega karena telah mengungkapkannya-apa yang selama ini selalu kutahan dan kusimpan dalam-dalam.
Sore itu, angin berhembus pelan, masuk perlahan melalui celah jendela kamarku yang terbuka sedikit.Semburat merah masih mengawang di langit sore yang meninggalkan kesan damai dalam hati.Aku terdiam.Menarik nafas panjang. Hhhhhhhhhhhhh… teringat akan Ibu yang sedang menjalani operasi di rumah sakit. Mataku memerah.Panas.Menghela nafas lagi.Mulutku komat-kamit, berdo’a bagi keselamatan Ibu.
Padahal, baru saja, tidak lama kok…baru enam bulan terakhir ini, sejak aku masuk SMA, aku baru dekat dengan Ibu.Baru sering berbagi cerita semasa sekolah dengan Ibu. Baru sering hang outbersama ibu, ke mall, mencari baju, wisata kuliner, atau bahkan kalau rezeki ibu belum turun, hanya sekadar mencuci mata sambil bercerita. Tidak lama kok, baru enam bulan terakhir ini aku sering bercerita soal cinta yang sedang melanda hatiku.Baru saja.Belum lama.Enam bulan bukan waktu yang lama.Hanya seper tigapuluh dari kehidupanku sejak aku lahir hingga sekarang.
Tidak.Aku tidak dekat dengan Ibu sejak kecil.Bagiku, sosok ibu sulit dijangkau.Sosok ibu bagai diselimuti kabut.Sewaktu kecil, aku sering iri dengan adik sepupuku. Tante Septi, adalah ibu idaman menurutku. Beliau tidak pernah memarahi anaknya sebab kesalahannya.Sementara aku?Bahkan, aku mengerjakan sesuatu yang disuruh Ibu pun, aku masih dimarahi.Entah kenapa.
Sesak.Aku teringat waktu aku masih duduk di Taman Kanak-Kanak dulu.Ibu tidak pernah menemaniku di dalam kelas. Sampai aku menangis pun, pada akhirnya, Bu Meta, salah satu guruku lah yang menggendongku, mengajakku bermain, mendiamkanku. Ibu tidak pernah masuk ke dalam kelasku. Hanya berdiri memandang di depan kelas, bahkan pergi dari TK ku. Sekali aku keluar mengejar Ibu, beliau pasti menyuruhku masuk ke dalam kelas lagi.Berkata dengan nada ketus,“Udah sana! Balik ke kelas! Jangan jadi anak manja!”aku menangis saat itu, ditonton seluruh anak-anak di Taman Kanak-Kanak. Sejak saat itu, aku berpikir bahwa ibu tidak sayang padaku.Ibu tidak peduli pada anaknya.
Hhhhhhhhh…aku menghela nafas lagi.Kali ini air mataku benar-benar menetes sebutir-sebutir di pipiku.Sewaktu di Sekolah Dasar, segemilang apapun prestasi yang kudapat, ibu tidak pernah memberiku hadiah.Tidak pernah mengungkitnya di depanku.Hanya seulas senyuman tipis di bibirnya.Hanya itu.Dulu, aku iri.Iri dengan teman-temanku.Setiap kali masuk tahun ajaran baru, bu guru atau pak guru pasti bertanya kepada para anak-anak yang berprestasi, termasuk aku,“Dapat apa dari ayah dan ibunya?”dan setiap anak menjawab dengan semangat,“Dapat tas pak!”atau“Dapat sepatu pak!”dan yang lebih mengesankan lagi “Dapat sepeda pak!”. Jujur, aku iri dengan mereka yang mendapat apresiasi  atas prestasi yang diraihnya.
Dulu juga, setiap kali aku bercerita masalahku kepada Ibu.Ibu tak pernah menanggapi. Dengan santai beliau berkata, “itu kan salahmu!”atau “Cobalah berpikir dari sisi orang lain, jangan hanya dari dirimu sendiri!”.Dulu, aku yang masih kecil, kesal dengan tanggapan ibu, yang menurutku-tidak menghasilkan jalan keluar.
Aku juga kesal, kalau sudah membahas PR dari guru.Ibu SAMA SEKALI tidak pernah membantuku.Pasti ngeles kalau ibu sudah lupalah, ibu sedang sibuklah, dan macam-amacam alasannya.Makanya, aku tidak pernah bertanya apapun kepada ibu.Tidak pernah bercerita apapun pada ibu.Rasanya hanya interaksi kosong di antara kita.
Hingga akhirnya, saat SMP, aku masuk sekolah berasrama yang jauh dari rumah. Sengaja! Aku bosan dengan suasana rumah! Aku ingin menghindari ibu sejauh-jauhnya! Aku nggak tahan berada dekat ibu! Aku nggak tau harus berbicara apa kalau berhdapan dengan ibu! Aku ingin menghindari suasana kosong ini.Ingin suasana baru.Tidak ingin diam saja.Aku iri dengan teman-temanku yang punya ibu yang baik.Bahkan, ibu hanya mengantarku dan langsung pulang, ketika seharusnya aku masuk ke sekolah asrama.
Aku benci mengakui ini. Aku benci mengakui bahwa, ketika ditinggal ibu, aku merasa kehilangan beliau! Aku benci mengakui setiap kali melihat teman-teman dijenguk oleh ibunya, aku juga teringat akan ibu! Aku benci mengakui bahwa ternyata aku butuh ibuku! Aku benci mengakui bahwa setiap air mata yang menetes dari mataku adalah untuk ibuku! Dan aku benci mengetahui bahwa aku nyaman berada dekat dengan ibuku…
Aku benci.
Aku benci. Tapi, ternyata memang ini yang kurasakan! Kerinduan yang mendalam ini memang tertuju pada ibuku! Bukan kakak-kakakku, bukan ayahku, apalagi teman-temanku. Kerinduan ini memang untuk ibuku! Bukan untuk siapa-siapa… hanya untuk ibu…
Hhhhhh…aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.Menatap langit yang masih memerah.Tes…tes…Ibu… seandainya aku tahu lebih cepat.
Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa ibu tidak pernah mau tinggal di kelasku sewaktu aku TK adalah agar aku yang anak bungsu tidak selalu bergantung pada ibu.Agar aku yang anak bungsu, berani menghadapi orang-orang yang ada di sekitarku. Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa ibu sebenarnya selalu membicarakanku yang mendapat prestasi di depan teman-temannya, dan beliau tidak pernah mau memujiku berlebihan adalah agar aku tidak mudah puas dengan apa yang sudah kuterima. Seandainya aku tahu lebih cepat bahwa, ibu selalu berkata “itu kan salahmu!”atau “Cobalah berpikir dari sisi orang lain, jangan hanya dari dirimu sendiri!” adalah agar aku benar-benar berpikir objektif, agar aku selalu mengintropeksi diriku sendiri dan tidak melulu menyalahkan kondisi ataupun orang lain. Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa ibu sebenarnya berusaha dengan keras mencari jawaban-jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan setiap kali membahas PR di luar sepengatahuanku.
Dan seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa selama aku bersekolah di sekolah berasrama, ibu selalu menangis untukku. Setiap kali makan makanan yang kusukai, ibu menangis, memikirkan “Anakku di sana makan apa ya? Apakah dia makan makanan yang disukainya? Atau hanya sekadar makan nasi dengan tempe?”. Setiap kali ibu nonton tv, ibu menangis dan berpikir “di sana anakku nggak bisa nonton film yang disukainya bersamaku lagi. Dia harus belajar terus-terusan…”. Setiap kali ibu tidur di kasurnya, ibu menangis, lagi-lagi berpikir tentang aku, si anak bungsunya, “di sana, apakah anakku tidur dengan nyaman?”. Seandainya aku tahu lebih cepat, bahwa di setiap sujud ibu, ibu menangis, menghamba pada Yang Maha Esa, agar aku, si anak bungsunya, yang tidak penah dekat dengannya, yang selalu menghindarinya, yang selalu  mencacimakinya walau hanya dalam bathin, selalu sehat, sukses, bahagia, dan mendapatkan lingkungan yang baik.
Seandainya aku tahu lebih cepat bahwa ibu selalu khawatir akan diriku…
Selalu khawatir setiap kali aku pulang telat dari sekolah…
Selalu khawatir ketika aku sakit, sekalipun aku tidak memberitahunya. Ibu tahu aku sakit! Padahal, menelponnnya saja aku tidak! Ibu tahu aku banyak masalah! Padahal berbicara dengannya saja aku tidak! Ibu selalu tahu kondisiku! Padahal…aku menjauhinya…
Ya…Allah… Seandainya aku dekat dengan ibu lebih cepat…
Isak tangisku mengeras ketika memikirkan ibu.Harap-harap cemas.Khawatir jika ibu kenapa-napa.Khawatir jika aku tak lagi dapat bertemu dengan ibu…Hhhhhhhhhh…aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.Merebahkan kepalaku di atas bantal.Menatap langit-langi kamar dengan air mata yang masih terus mengalir.
Ibu…
Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk pelan. “Dik?” Tanya sebuah suara di luar sana.
“Ya Mas?” jawabku berusaha menyembunyikan getar dalam nada suaraku.
“Ibu telepon tuh, katanya mau ngomong sama kamu!”
“Lho?!Operasinya udah selesai Mas?”
“Udah dari beberapa jam yang lalu kok…Cepet gih, ditungguin tuh!”
“Iya! Iya!” aku menyeka air mataku dan segera berlari keluar kamar, menyambar gagang telepon yang dipegang kakakku yang lain.
“Halo, Assalamu’alaikum?” ucapku pelan.
“Wa ‘alaikum salam Dik…” jawab ibu. Suaranya terdengar amat lelah.
“Ibu?Ibu gimana operasinya…?” tanyaku menahan tangis.
Kemudian ibu bercerita panjang tentang pengalamannya sehari penuh di rumah sakit.Sesekali tertawa.Sesekali mengeluh.Sesekali serius.Dan tertawa lagi.
“Yaudah Dik, belajar gih, besok ada ulangan apa?” Tanya ibu seakan mau mengakhiri teleponnya.
“Nggak ada ulangan kok Bu.”
……. Sesaat kita berdua diam. Meresapi setiap pembicaraan.
“Bu?” panggilku.
“Hmm?”
“Aku sayang Ibu, Aku mau minta maaf sama Ibu, selama ini aku nggak pernah berbakti sama Ibu…” tangisku pecah tak tertahankan. Entah bagaimana caranya, aku merasa bahwa di seberang sana Ibu tersenyum menanggapi setiap tangisku. Beliau menunggu lama sekali hingga aku selesai menangis.
“Ibu tahu kok.Ibu juga sayang adik. Sayang banget…”
“Maaf ya Bu…”
“Maaf kenapa?Nggak ada yang perlu dimaafin, dalam hidup yang namanya salah adalah sesuatu yang biasa, tinggal bagaimana kita menghadapinya saja.Ibu nggak pernah merasa didurhakai kok…hahahaha” Ibu tertawa kecil menanggapi.Aku tersenyum. Menghapus air mataku.
“Udah sana belajar! Udah ya…Assalamualaikum”
“Wa’alaikum salam…” aku menutup gagang telepon. Terisak kembali.
Ya…Allah, betapa Engkau telah memberiku Ibu yang amat baik bagiku…
Terima kasih Allah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar