![]() |
sumber : http://pdfcast.net/11-langit-senja.html |
***
2 bulan lalu
“Katanya ia akan menikahiku jika
saja aku mau berjanji untuk memakai jilbab dengan konsisten, kalau tidak
sekarang ya nanti, setelah menikah” Ujarnya dengan wajah yang sedikit bingung,
sedikit merona, sedikit terlihat berpikir, dan sedikit-sedikit lainnya yang
membuat wajah cantiknya agak sedikit berkerut.
“Mmm…Terus?” Tanyaku menanggapi
dengan bingung.
“’Terus?’ Ini bukan hanya soal
‘terus?’ Brin! Ini soal komitmen dan prinsip hidup!” Ujarnya lagi sambil
mengguncang-guncangkan bahuku. Dia memandangku, berusaha melebarkan matanya
yang memang sipit. Aku membaca sorot mata ‘minta tolong’ terpancar dari matanya
yang sipit.
Aku tertawa kecil, “Maksudku,
terus kamu maunya gimana? Menolak menikah? Atau memakai jilbab? Lagian pakai
jilbab juga nggak bikin kamu jadi
jelek juga kok, Fah…” Aku meliriknya, yang dilirik cuma cemberut sambil
melipat tangan di dadanya.
“Bukan itu. Tapi dengan memakai
jilbab kita bertanggung jawab untuk senantiasa berbuat baik dan, mm… gimana ya?
Kalau aku sih mendeskripsikannya, orang yang pakai jilbab itu orang yang
benar-benar baik, dan nggak sering
main kemana-mana. Sementara aku masih suka jalan ke mall. Buatku, urusan
pakai-memakai jilbab itu bukan pakai jilbab yang Cuma asal lilit di kepala
terus baju ala kadarnya. Soalnya itu nonsense
buatku, sama aja mereka nggak pakai jilbab. Jadi, buatku kalau harus pakai
jilbab ya… yang kayak ustadzah-ustadzah di pengajian contohin gitu Brin”.
Aku tersenyum manggut-manggut. Nah, itu dia tahu teorinya, tapi belum ada
aksi. Bathinku.
“Briin~, komentar dong… ”,
rajuknya. “Menurutmu gimana? Kamu kan udah pakai jilbab bertahun-tahun tuh…”
lanjutnya.
“Menurutku, kamu istikharah dulu,
minta Allah mencondongkan hatimu pada kebaikan. Ya?”
Dia terdiam. Mungkin
mempertimbangkan saranku, mungkin juga memikirkan hal lain, entahlah, siapa
yang tahu isi pikiran orang. Yang jelas, ketika semburat mega merah mulai
menghiasi langit senja itu, aku berdo’a untuknya, semoga Allah menguatkan
hatinya untuk mulai berhijab.
***
Namanya Nur Afifah, akrab
dipanggil Fifah, teman seperjuanganku sejak SMA. Lulus dari SMA yang sama
kemudian kuliah di universitas yang sama walaupun berbeda jurusan, lulus di
waktu yang sama, dan akhirnya memilih karir di bidang yang sama, guru sekolah
dasar. Seminggu yang lalu, usai hujan deras sepanjang siang, seorang pria
baik-baik (aku katakan di sini ia adalah pria baik-baik karena wajahnya terlihat
baik, dan begitu pula sikapnya) datang melamarnya. Terlepas dari apapun niat si
pria untuk melamar Fifah (tentu saja di sampng cinta dan sebagainya), ia
mengajukan satu syarat, meminta Fifah untuk berjilbab dengan konsisten.
Entah apa yang dipikirkan Fifah
saat itu, yang aku tahu esoknya, setiap hari selama kurang lebih satu minggu,
ia mendatangiku. Entah untuk bercerita atau hanya untuk sekadar diam sembari
minum teh dan ngemil di sore hari usai kerja.
Suatu ketika dia berkata setalah
keheningan yang panjang di antara kami berdua, “Shabrina, kalau orang berjilbab
itu mestinya baik dulu ya… kalau orang bejat tiba-tiba pakai kerudung, nanti
malah merusak nilai-nilai jilbab itu…”.
Aku tertawa kecil. “Teorinya
siapa Fah?”, tanyaku. Dia terdiam, kembali menerawang.
“Fah, orang berjilbab bukan
malaikat yang nggak berbuat dosa. Orang berjilbab juga punya hawa nafsu, jadi
bisa aja beliau salah, termasuk juga aku. Yang membedakan orang berjilbab yang
syar’i dengan yang tidak berjilbab adalah bahwa ia selalu berusaha menjadi
lebih baik lagi dan lagi dengan selalu berbuat baik dan menghindari hal-hal
yang buruk…”
“Selalu berusaha menjadi lebih
baik…” gumamnya, berusaha memaknai kalimatku barusan.
“Dan, setiap orang punya
kewajiban untuk menutup aurat, baik orang bejat ataupun orang berhati
mulia-kalau kamu bilang… Kalau orang bejat nunggu baik dulu untuk pakai jilbab
ya Fah… ya kapan makainya? Hidayah tuh nggak datang begitu aja, tapi perlu
dijemput pakai usaha. Sama kayak jodoh Fah, jodoh di tangan Allah emang, tapi
ya kalau nggak dijemput pakai usaha yaa bakalan tetap ada di tangan Allah … iya
nggak? “
“Apa sih Briiiiin …” rajuknya,
kemudian kita sama-sama tertawa. Ya Allah… betapa aku menyayangi Fifah, saudari
seperjuanganku, maka Ya Allah … condongkanlah hatinya ke arah yang baik,
kuatkan hantinya untuk berhijab.
Langit senja itu sedikit
tercampur warna keunguan, membuatnya menjadi lebih manis. Dan di bawah langit
ungu itu, kami berpisah untuk hari itu, mengakhiri obrolan kami dengan senyum.
Maka, semoga urusan ini bisa diakhiri dengan senyuman juga.
***
Sore itu (Aah iya, entah mengapa
obrolan-obrolan ini selalu terjadi ketika petang menjelang), Fifah berkunjung
ke rumah. Mau menginap katanya. Aah iya betul, esok adalah hari dimana ia harus
mengambil keputusan besar yang akan mengubah hidupnya ke depannya. Menerima
lamaran, atau menolaknya.
“Brin, tapi, dosa nggak sih aku
kalau aku pakai jilbab karena suami, bukan karena Allah?” Tanyanya tiba-tiba
saat aku kembali ke kamar dengan dua gelas teh hangat dan dua toples camilan.
“Mmmm… begini, adakalanya kita
butuh keterpaksaan untuk memaksa kita untuk melakukan hal-hal yang sudah seharusnya
menjadi kewajiban kita. Mungkin awalnya terpaksa, tapi, kalau dibiasakan
nantinya akan menjadi sesuatu yang mendarah daging, dan jika itu adalah hal
yang baik, Insya Allah, Allah akan menyelipkan keikhlasan di dalam hati kita.
Sama aja kayak sholat 5 waktu. Dulu, kamu bisa rutin shalat 5 waktu gimana?”
“Disuruh-suruh terus sama Bapak
Ibu. Apalagi waktu shubuh, ada kali dibangunin sampai 3-4 kali …”
“Terus sekarang?”
“Sekarang… ya nggak perlu disuruh
lagi, juga kalau ninggalin shalat rasanya ada yang salah…” jawabnya hampir
bergumam. Aku tersenyum.
“Yah… kurang lebih kayak gitu lah
Fah…, oh iya, lagian menaati suami itu kewajiban Fah… ibadah juga. Jadi kalau
kamu menaati suami kamu untuk hal-hal yang baik sekalipun itu hal kecil, Insya
Allah berpahala… hehehehehehehe”
“Ooh gituu??” ujarnya dengan mata
membulat. Obrolan sore itu terputus oleh adzan maghrib yang berkumandang
lantang dari masjid di ujung jalan. Dan lagi-lagi langit keunguan yang tampak
di atas sana. Langit yang indah ini, semoga menjadi pertanda bagi keputusan
yang indah pula.
***
Sekitar pukul 3 sore esok
harinya, Fifah pamit. Ia hendak membantu ibunya untuk mempersiapkan tamu yang
akan datang menagih jawabannya nanti malam. Sebelum pulang, ia merangkulku
erat, “Shabrina, terima kasih telah menguatkanku… Aku memutuskan untuk
berjilbab…”
Seketika, ada gelegar kuat yang
memenuhi rongga dada, berpilin, menggedor-gedor jiwa yang akhirnya memaksa
keluar sejumlah air mata. Air mata bahagia… “Allahu Akbaaar…” takbirku hampir
berteriak. Aku balik memeluknya, “Semoga istiqomah ya, Fah…” ucapku
berkali-kali.
“Amiiinn” dan perpisahan sore itu
cukup berlumuran air mata. Ya… Allah, terima kasih, terima kasih karena telah
mendengar doaku, mengabulkannya, dan menguatkan hati Fifah untuk berhijab. Maka
doaku kali ini, istiqomahkanlah ia, Ya Allah…
***
2 bulan setelah obrolan-obrolan
panjang kami yang juga diselingi dengan keheningan yang tak kalah panjang,
pernikahan Fifah dilaksanakan dengan meriah di rumahnya. Dan lihatlah betapa ia
terlihat anggun dalam balutan hijab yang kini melingkupi tubuhnya. Tidak,
tidak, tidak, bahkan semestinya ada kata-kata yang lebih indah dari anggun
untuk mendeskripsikannya! Ah iya… dia benar-benar telah menjadi begitu cantik.
Aku tersenyum ketika mata kami
saling berpandangan. “Selamat ya, Fah. Semoga menjadi keluarga yang sakinah…”
ujarku.
Seketika itu pula, Fifah
memelukku erat. “Terima kasih ya brin, terima kasih… terima kasih untuk
semuanya” dan lagi-lagi air mata mengalir dari mata kami. Air mata bahagia
mungkin, sedih juga mungkin. Entahlah, karena sesungguhnya ada kebahagiaan
bersama kesedihan ada kesedihan bersama kebahagiaan. Karena keduanya saling
melengkapi, sebagaimana Fifah dan suaminya. Dan kini doaku, Ya Allah, semoga
keduanya bahagia…
Langit senja saat itu terlihat sangat, sangat indah. Dengan
semburat mega merah, bercampur warna ungu, bercampur warna biru… dan warna
indah lainnya. Ya, dan langit senja itulah yang telah menjadi saksi dari proses
Fifah untuk berhijab. Dan semoga Allah menguatkan hati saudari-saudariku
lainnya yang belum berhijab untuk berhijab… Amiiin…
Depok, Jawa Barat, 11 Februari
2013 pukul 1.20 WIB
A campaign for World Hijab Day,
February, 14th
Tidak ada komentar:
Posting Komentar