Selasa, 06 September 2011

Surat Buat Dinda


Surakarta, Sabtu, 1 Agustus 2009
Untuk Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Bagaimana kabarmu, Dinda? Sebenarnya, aku agak bingung untuk menulis surat. Yah-jujur saja, ini pertama kalinya aku menulis surat, tentunya selain untuk tugas bahasa Indonesia dulu… (>.<). Dan, maaf saja kalau bahasanya agak kaku. Aku bingung, apakah aku harus pakai bahasa yang formal seperti tugas bahasaku atau bahasa yang aku gunakan sehari-hari?  Setelah corat-coret di atas kertas buku gambarku, akhirnya, aku memutuskan untuk menulis apa adanya, membiarkan tanganku bergerak terus mengikuti keinginan rasanya lebih pas, daripada aku membingungkan masalah ‘menggunakan bahasa kaku atau tidak’.
Yah, aku agak kaget juga dengan permintaan ‘surat-menyurat’ ini darimu.  Apa aku mengganggumu dengan telpon-telponku ke rumah barumu di Jakarta sana? Tapi, aku setuju denganmu, kalau dengan surat, kita bisa membacanya berkali-kali, menyimpannya, atau bahkan memajangnya di kamar… (siapa pula yang akan memajangnya, Din? Aku bahkan tak yakin kau akan melakukannya…). Jadi, aku setuju saat kau mengajakku untuk melakukan ‘korespondensi’. Begitu kan?
Lalu, bagaimana Jakarta sana? Panaskah? Lebih panas mana, Din, dengan Solo? Macetkah seperti yang diberitakan di TV? Aaah… senang sekali, Din, kau bisa ke Jakarta. Apa kau sudah mampir ke tempat-tempat wisatanya? Ke Dufan, Ragunan, Taman Safari, Taman Mini, dan semua yang kau sebutkan dulu itu, Din? Jika kau sudah pergi ke sana, ceritakan padaku dengan lengkap! Bagaimana suasananya, ramaikah, atau mahalkah? Apa sajalah! Supaya aku bisa membayangkan dan punya motivasi juga untuk pergi ke Jakarta sana. Menyusulmu untuk bersekolah di sana.
Ah... iya! Ngomong-ngomong tentang sekolah, bagaimana sekolahmu? Apakah seperti yang kau bicarakan? Perpustakaan yang besar dengan koleksi buku yang lengkap seperti yang kau impikan? Belajar dengan menggunakan komputer, internet, atau apalah namanya itu! Laboratorium dengan alat-alat kimia, biologi, dan fisika yang lengkap? Sudahkah kau dapatkan itu semua, Din? (Lagi-lagi) aku minta ceritamu, Din! Biar aku juga merasakan kebahagiaanmu di Jakarta sana, Din!
Lalu, bagaimana teman-temanmu? Sudahkah kau dapatkan teman yang baik sepertiku? (^_^) Atau yang cerewet seperti Laksmi dan Risa. Yang bandel seperti Oki dan gengnya. Yang ramah seperti Ella, Rahmi, Yanti. Yang pintar seperti Angga, Anin, dan lainnya…! Apa kau dapat teman yang baik, Din?
Ah… maaf ya, rasanya, aku terlalu menghujanimu dengan pertanyaa-pertanyaan. Tapi, aku benar-benar ingin tahu bagaimana keadaanmu di Jakarta sana, Din…Jadi, bagaimana kalau kita bertukar cerita? Seiring dengan berjalannya waktu, pasti akan ada banyak hal yang bisa diceritakan. Iya kan, Dinda? Aku juga akan terus mengirim kabarku dan teman-teman di Solo sini.
Mmmm… mungkin, sekian dulu surat pertamaku, Din…(akhirnya, bisa juga aku menulis surat, awalnya aku agak sedikit ragu dengan kemampuanku menulis). Aku tunggu kabarmu berikutnya, Dinda..
Wassalamu’alaikum wr. wb
Teman sebangkumu
ASena
A.Sena
***
Surakarta, Rabu, 8 September 2009
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Apa kabar Jakarta? Baik-baik sajakah? Hei, Din, aku belum menerima surat balasanmu… Padahal kau yang mengusulkan untuk surat-menyurat. Lagi sibuk ya? Yah-kalau di sekolahku si sekarang sedang mid semester… (surat ini juga kubuat saat selesai mengerjakan soal biologi ^_^). Tadinya, aku mau menunggu sampai selesai mid. Tapi, karena tak sabar untuk menceritakan keadaan di sini, tanpa sadar aku sudah menulis panjang kali lebar kali tinggi untukmu…
 Ini sudah memasuk hari ke-13 puasa. Kau tahu, Din? Tepat sehari sebelum puasa, sekolah kami mengadakan pawai keliling Solo! Bayangkan keliling Solo! Sebagian menggunakan sepeda, sebagian lainnya menggunakan sepeda motor, dan yang lainnya berjalan kaki, sesuai hasil kocokan per kelas. Sembari membagikan jadwal imsakiyah Ramadhan dan sedikit stiker bertuliskan “Sambut Ramadhan, Tingkatkan Taqwa” yang didesain oleh Heru dan dicetak di tempat yang sama dengan saat kita mencetak buku tahunan dulu saat SMP. Tak lupa spanduk-spanduk yang bertuliskan sama dengan stikernya kami usung tinggi-tinggi di atas kepala. Dan bagi yang berkendara membawa bendera yang diikatkan di sepeda atau motornya.
Pawai tersebut dimulai pukul 7 pagi dan selesai pukul 4 lebih sedikit. Saat itu, kami sempat beristirahat untuk shalat dzhuhur dan makan siang di keraton lho! Ah seru sekali lho, Din! Coba kau ada di sana! Eh tapi kami nggak Cuma jalan dan bagi-bagi stiker atau jadwal imsakiyah, kami memakai kostum sesuai dengan kesepakatan sekelas, kalau kata Pak Sugeng, kepala sekolah kami, “Guna menunjukkan kekreativitasan siswa-siswi….dan bla…bla…bla…” (entah, panjang sekali pidato Pak Sugeng saat itu).
Kelasku, kelas X-1, atas ide Akbar, teman sebangkuku sekarang, kami sepakat untuk menggunakan kostum-kostum bertemakan ‘kera sakti’ (kau pasti tahukan cerita si kera sakti yang mencari kitab suci?). Aku di sini berperan menjadi biksu, tentu saja atas hasil kocokan. Yang menjadi kera saktinya, kau tahu siapa? Kau pasti tidak akan menduga! Angga, si kutu buku itu yang jadi kera sakti! Teman kita satu kelas dulu, Din! Walaupun awalnya kami agak ragu, tapi toh, ternyata Angga bisa memerankan kera sakti dengan baik selama pawai. Kalau kau melihat aksi Angga saat pawai, kau pasti tertawa terpingkal-pingkal, Din!
Lalu, Ayu, Nana, dan Intan menjadi tiga serangkai siluman laba-laba. Mereka berjalan miring-miring sepanjang pawai, sampai-sampai hampir menabrak Angga, dan aku! Pokoknya seru, deh, Din! Eh, tapi ini bukannya aku mengompori kamu untuk kembali ke Solo lho, Din! Hanya bercerita saja… Kau pasti bisa membayangkannya…
Kemudian, hari Sabtu lalu, kelasku mengadakan buka puasa bersama di Masja alias Masakan Jawa, yang kita kenal dengan nama ‘Rumah Makan Taman Sari’. Kami mengambil lokasi di Masja yang berada di jalan Selamet Riyadi, tempat kita dulu merayakan ulang tahunmu yang ke-15, Din. Kau ingatkan?
Hei, tanggal 22 nanti, sekolah kami sudah mulai libur. Bagaimana dengan sekolahmu? Libur lebaran ini apakah kau akan mampir ke Solo, Din? Kalau kau mampir Solo, jangan lupa main ke rumahku ya! Masih ingatkan?
Ok. Kurasa itu sedikit hal yang bisa kuceritakan, Din. Sekarang giliranmu becerita! Aku menunggu…!
Wassalamu’alaikum wr. wb
Teman sebangkumu
ASena
A.Sena
 ***
Surakarta, Selasa, 24 September 2009
Teruntuk Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Hai! Hai! Hai, Din! Bagaimana kabarmu di Jakarta sana? Sehatkah? Oh ya…Walaupun sudah agak telat, tapi rasanya ada yang kurang kalau aku belum mengucapkannya, “Selamat Idul Fitri ya… Mohon maaf lahir dan bathin.” Maaf banget, Din, kalau-kalau aku sering salah ucap, salah kata di surat-surat yang sudah aku kirim, salah sikap, dan salah-salah lainnya. Kamu mau kan maafin aku?
Sekolah baru akan dimulai hari Senin minggu depan, jadi saat ini aku masih dalam tenggat waktu liburan. Bagaimana denganmu? Hei, kau tidak mampir ke Solo, Din! Suratku juga belum kau balas! Sesibuk itukah dirimu di Jakarta sana? Apakah sekolah di  Jakarta banyak menuntut waktumu, Din? Tak apa-apa kalau kau mau memaksimalkan waktumu di Jakarta sana untuk belajar, tapi, ingat juga kesehatanmu, Din. Kau kan sering sekali jatuh sakit! Hati-hati juga dengan penyakit thypus-mu… Kata Dokter Mila, dokter di sekolahku, typhus (eh, bagaimana ya tulisan yang benarnya? Typhus atau thypus?  Atau malah tipes? Yah… pokoknya gitulah! =,=”) bisa kambuh sewaktu-waktu. Pokoknya, Jaga Kesehatan, Din! OK?
Lebaran kali ini, di RT kita mengadakan halal bi halal akbar di lapangan lokasi sholat ied. Di sana, setiap rumah membawa minimal satu hidangan untuk nantinya dimakan bersama-sama di lapangan itu. Keluargaku membawa hidangan sambal goreng tumpang dan sate ayam. Eh, ternyata tidak hanya keluargaku yang membawa sate ayam, tapi itu justru membuat hidangan sate dalam jumlah yang banyak. Kemudian ada juga yang membawa opor ayam, sambala goreng krecek, bahkan ada sejumlah rumah yang membawa nasi tumpeng! Ya ampun… lebaran kali ini benar-benar makan besar deh, Din! Haaaaaahhh… kenyaaaaaannnngggg!!
Ah, ada yang terlewat! Saat malam takbirannya, walikota Solo mengadakan lomba takbiran keliling. Dan, coba tebak! Sekolah kami mendapat juara 2! Walaupun persiapannya mendadak, dan hampir batal ikut, namun berkat kegigihan Pak Sunaryo, guru Agama kami, akhirnya jadi juga kami ikut lomba takbir keliling itu. Dan yang tidak disangka adalah kami mendapat juara 2 itu!
Padahal sebelumnya, beberapa senior, seperti Kak Agung dan Kak Tyar sudah hampir putus asa. Dan atas komando Pak Sunaryo, kami terburu-buru mencari mobil bak terbuka untuk membawa kami takbiran keliling kota. Terburu-buru meminta tolong Rohis putri dan beberapa anak-anak sekolah kami yang tidak kemana-mana untuk menghias mobil tersebut. Terburu-buru mencari bermacam-macam alat yang bisa dibunyikan untuk takbiran, mulai dari piring, galon, garpu, sendok, tong, rebana, sampai gitar dan biola! Dan smeuanya kami kerjakan dalam waktu satu hari! Wow! Benar-benar nggak terkira deh!
Lalu, bagaimana dengan lebaran di Jakarta, Din? Kamu sholat ied dimana? Apa hidangan sambal goreng krecek kesukaanmu dihidangkan juga di Jakarta? Cerita dong, Din… (lagi-lagi) aku menunggu balasanmu.
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, 25 Desember 2009
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Bagaimana kabarmu, Din? Sudah banyak surat yang aku kirim, tapi kau tak kunjung membalasnya. Apa kau sudah lupa padaku, Din? Ini sudah surat yang ke-20. Tapi tak satupun kau membalasnya.  Apa sesibuk itu di Jakarta?
Kalau kau sudah agak sedikit senggang, tolong balas suratku, Din…
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, 4 Januari 2010
Untuk Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Selamat tahun baru, Din. Apa kau sudah punya waktu luang untuk membalas suratku, Din?
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, Rabu, 10 Maret 2010
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Selamat ulang tahun, Din… semoga tahun menjadi pribadi yang lebih baik… dan semoga impianmu tercapai. Amin.
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
***
Surakarta, Jum’at, 16 Juli 2010
Buat Dinda
Di Jakarta
Assalamu’alaikum wr.wb
Din, bagaimana kabarmu? Ini sudah tepat surat ke-100 aku kirim ke Jakarta. Ke rumahmu, Din. Seperti permintaanmu dulu. Setahun yang lalu kau minta aku untuk berhenti menelponmu dan memintaku pula untuk mengirimkan surat-surat ini. Lantas, kau tak pernah menepati janjimu untuk membalasnya…
Kau tahu, Din? Aku pikir, Jakarta memang sesibuk itu. Makanya, aku masih terus menunggu surat-suratmu. Kau tahu, aku merindukanmu. Ketika aku menulis surat yang ke-100 ini, sambil terus membayangkan wajahmu, perlahan aku menangis. Berpikir, apa kau sudah tak lagi menganggapku teman, Din?
Apa aku hanya mengganggumu?
Kalau iya, jelaskanlah! Jelaskan padaku dengan yang sebenar-benarnya…
Wassalamu’alaikum wr. wb
ASena
A.Sena
NB : Aku mohon, satu surat saja cukup untuk menjelaskannya…
***
Surakarta, 20 September 2010
                Keributan pagi hari itu terjadi seketika Dinda memencet bel rumah berpagar biru itu seraya mengucap salam. “Assalamu’alaikum!!! Seee…Naaa!!” . Tepat selesai Dinda mengucap salam, tiba-tiba bantal-bantal kursi melayang dari dalam rumah ke arah Dinda. BUK! Satu bantal telak mengenai muka Dinda. Dan saat ia menyingkirkan bantalnya, ada pemandangan yang lebih mengerikan di balik bantal tersebut.
                Itu Bude Sari! Bude Sari, Ibu Sena! Berdiri di depan pintu rumahnya sembari memakai daster dan mengacung-acungkan botol kecap di atas kepalanya. Sedetik kemudian Bude Sari sudah berteriak-teriak sambil terus mengacung-acungkan botol kecap, seolah siap untuk melemparnya ke kepala Dinda. “MASIH BERANI KAMU MENGINJAKKAN KAKI DI RUMAHKU? DASAAAR PEMBUNUH ANAKKU!!!!” “PRANGGG!!!”  Kali ini, Bude Sari sudah melempar botolnya. Dinda mengelus dadanya lega, untung kena pagar, kalau nggak, mungkin kepalaku sudah pecah!
                Sambil terus menunduk berlindungkan pagar, Dinda mendengar suara-suara teriakan Bude Sari memaki-maki, diikuti suara Om Bandi, Ayah Sena, dan Eka, adik perempuan Sena, yang berusaha menenangkan Bude Sari. Semenit kemudian, suasana menjadi tenang. Dinda bangkit dari ringkukannya di balik pagar biru itu. Di sana ia menemukan Eka tersenyum kepadanya.
                “Eka…? Bude Sari kenapa? Sena kenapa?” Tanya Dinda dengan suara parau, hampir menangis.
                “Jangan di sini yuk, Mbak! Di warung mie depan aja!” Ajak Eka sambil menyebutkan salah satu warung mie dekat rumahnya. Dinda mengangguk sambil mengikuti Eka dari belakang.
                “Hari ini, aku datang untuk meluruskan kesalahpahaman antara aku dan sena…” Ucap Dinda setibanya di warung mie. “Tapi, aku tak menyangka akan mendapat sambutan yang semeriah itu…” Dinda tertawa kecil. Namun hambar. “Apa yang sebenarnya terjadi, Ka?” Tanya Dinda. Matanya tidak fokus, berusaha menahan tangis sejak tadi.
                Eka tak langsung menjawab. Ia mengaduk es jeruk yang dipesannya, lantas menyeruputnya perlahan. “Kalau boleh tahu, kesalahpahaman apa yang terjadi antara Mas Sena sama Mbak Dinda?” Tanyanya setelah beberapa detik yang sepi.
                Dinda menggeleng perlahan, lalu mulai bercerita. “Saat awal aku di Jakarta, Sena terus-terusan menelponku. Aku tidak keberatan. Sama sekali tidak. Sena mengisi hari-hari awalku saat aku masih belum punya teman di Jakarta. Tapi, rupanya Ibuku keberatan. Beliau memintaku untuk tidak sering-sering menelpon. Mahal lah, mengganggu lah, menghambat kerjaan lah, entah segudang alasannya. Kau tahu kan, dari dulu Ibuku tidak suka Sena?” Eka mengangguk perlahan. Kemudian sunyi sesaat.
                “Akhirnya aku memikirkan cara lain. Yang sama-sama tidak memberatkan, dan sama-sama kami sukai, yaitu dengan menulis. Tadinya aku minta berkirim email. Cuman, aku tahu kami sama-sama gaptek, dan daerah ini jauh dari internet, namun dekat dengan kantor pos. Maka aku mengusulkan untuk surat-menyurat. Aku memintanya untuk menulis lebih dulu. Lantas, aku membalasnya.” Lanjut Dinda panjang lebar.
                “Aku menunggu terus-terusan surat dari Sena. Beberapa bulan pertama, aku pikir, Sena masih sibuk. Maka, memasuki tahun baru, aku mulai mengiriminya surat-surat. Tapi,…” Air mata Dinda mulai turun sebutir. “Ibuku menghalangiku untuk bersurat-suratan dengan Sena. Beliau menyuruh orangnya untuk mengambil suratku untuk Sena di kantor pos saat aku tidak tahu. Dan menyimpan semua surat Sena untukku tanpa memberitahuku. Aku baru mengetahuinya seminggu yang lalu, saat aku juga tahu, bahwa ibuku bukan ibu kandungku.
Cih! Dramatis sekali! Rasanya, seperti  di sinetron-sinetron! Tapi, sayangnya, itu nyata! Nyata kualami! Nyata kurasakan! Kemudian, Ibu kandungku datang ke rumah dan entah bagaimana cara beliau mengurusnya-atau lebih tepatnya, aku tak mau tahu, akhirnya aku pindah ke rumah ibu kandungku. Dan di sanalah beliau memberiku surat-surat dari Sena yang disembunyikan ibu tiriku sejak setahun lalu. Saat itu aku langsung menangis. Ada 100 buah surat yang kubaca. Tak satupun surat Sena yang berisi tulisan! Sena hanya menggambar garis-garis panjang dan titik di atas kertasnya! Anehnya, aku mengerti, ada kesalahpahaman di sana. Di surat-surat awal, ia menggambar garis dan titik di atas kertasnya sebanyak 3 lembar. Semakin lama garis-garis dan titik-titik tersebut berkurang menjadi 2 lembar, dan makin lama pula berkurang menjadi hanya setengah halaman saja… Di sanalah aku paham, bahwa kami sama-sama menunggu. Tak perlu kata-kata untuk memahaminya.” Ucap Dinda sedih.
Hening kembali. Eka memalingkan wajahnya dari Dinda. Berusaha menyembunyikan matanya yang memerah menahan tangis pula. “Mbak… Din…, setahun yang lalu, dokter berkata ada tumor yang tumbuh di otak Mas Sena. Semakin lama, semakin tak tertahankan. Tapi, Mas Sena melarangku memberi tahu Mbak Din, teman sepermainannya. Dan setelah Mbak Din pindah Jakarta sekeluarga, Mas Sena mengambil keputusan untuk operasi pengangkatan tumor. Dikiranya, setelah operasi semuanya akan kembali seperti semula, dan rasa sakit di kepalanya akan hilang.
Kenyataan tak semudah bayangan, Mbak Din. Justru usai operasi, kemampuan kerja otak Mas Sena berkurang drastis. Bahkan mengungkapkan keinginannya untuk makan ikan saja harus dibimbing dulu. Tapi, Mbak Din, keinginannya untuk menulis s urat buat Mbak Din sangat keras. Setiap kali aku menjenguk Mas Sena di rumah sakit, Mas Sena pasti sedang tertatih-tatih memegang pensil dan kertas, walaupun di kertas itu tak satu hruruf pun terukir. Melihat kegigihannya, aku langsung setuju saat Mas Sena minta tolong untuk dikirimkan ke alamat Mbak Din. Biar pun aku tahu, Mbak Din pasti bakal bingung dengan garis-garis tersebut. Semua yang mengirimkan surat itu aku, Mbak…”. Eka menarik napas panjang sebelum melanjutkan cerita ‘Mas Sena’nya.
“Kemudian, sekitar satu bulan yang lalu, saat itu aku pulang sekolah. Langsung mampir ke rumah sakit tempat Mas Sena dirawat. Aku heran, Mbak, banyak banget orang berlalu-lalang. Lebih banyak dari biasanya. Saat aku sampai di depan kamar Mas Sena, aku lihat Ibu teriak-teriak, Mbak… sambil nangis di ruangan Mas Sena yang engh…” Eka berhenti sebentar lagi, sejenak menguatkan hatinya. Lantas melanjutkan, “Banjir darah…”. Sunyi. Mata dinda membelalak. Perasaannya campur aduk. Tiba-tiba perutnya mual, seperti ingin muntah.
“Di sana, pagi hari, Mas Sena memotong nadinya sendiri, dan baru diketahui siangnya. Saat Ibu datang menjenguk. Di sampingnya ada  surat yang beralamatkan dari rumah Mbak Dinda, dan mengatasnamakan Mbak Din…” Eka mengeluarkan sepucuk surat yang dilipat kecil dari dompetnya. Dinda meraihnya dan membukanya. Matanya semakin membelalak, di sana ada tulisan tangan yang ia hafal betul. Itu tulisan tangan ibunya! Ibu tirinya yang selama ini mengaku sebagai ibu kandungnya! Hanya dua baris yang tertulis di sana :
Kau selalu menggangguku, Sena. Aku benci kamu. Mati saja kau! Aku tidak pernah menganggapmu sebagai teman!”
“Ini bukan aku!” tegas Dinda.
“iya, Mbak! Tadinya juga nggak ada yang percaya Mbak Din nulis hal-hal seperti itu! Tapi lihatlah, Mbak! Tanda tangan siapa yang tertera di sana?” 
Dinda meneliti lagi. Itu tanda tangannya. Di pojok kiri bawah. Rapih terukir di sana.
Dinda
Dinda meremas surat, lantas menangis. “Ini bukan aku, Ka… Bukan aku…” Isaknya.
“Nggak peduli Mbak Din atau bukan, ibu sudah menganggap surat itu yang membuat Mas Sena bunuh diri, Mbak. Mbak Din adalah harapan Mas Sena. Karena Mas Sena tahu, bahwa Mbak Din pasti akan menerima Mas Sena apa adanya. Dan… Aku baru tahu akhir-akhir ini, bahwa nilai Mbak Din di mata Mas Sena adalah lebih dari sekadar ‘teman sepermainan’. Bagi Mas Sena, alasannya untuk tetap hidup saat tahu tumor otak menggerayanginya, adalah Mbak Din. Makanya waktu tahu bahwa Mbak Din sebegitu bencinya, Mas Sena merasa tidak ada lagi alasan untuk hidup. Matanya dibutakan oleh cintanya pada Mbak Din.”
Keheningan kembali menyeruak di antara mereka berdua. Menyisakan isak tangis keduanya hingga ke langit-langit warung mie tersebut. Setelah itu tak ada pembicaraan lagi. Cukup sudah memori pahit tentang Sena. Cukup sudah semua kesalahpahaman ini. Sebaiknya semuanya diam hingga tak lagi terbuka luka lama yang sudah bernanah dan berkeropeng itu. Dan membiarkannya tertutup oleh jalannya waktu…


Depok, 6 September 2011

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. di cerpen ini kmu bisa sedikit melawan ketakutanmu.. (y)..
    memang cuma tulisan, tapi itu terbayang..
    sip.sip
    semangat terus yaa.. ;)

    BalasHapus