Minggu, 10 Februari 2013

Di Bawah Langit Senja



sumber : http://pdfcast.net/11-langit-senja.html
Ia melangkahkan kakinya keluar kamarnya. Dengan langkah yang anggun, membuat semua mata yang ada di ruangan terpana. Yah, aku tahu, dia memang berubah jadi lebih, em, bagaimana aku menyebutnya?, Ah mungkin anggun. Tidak, tidak, tidak, bahkan semestinya ada kata-kata yang lebih indah dari anggun untuk mendeskripsikannya! Ah iya… dia benar-benar telah menjadi begitu cantik sejak 2 bulan lalu. Sejak ada kejadian itu.
***
2 bulan lalu
“Katanya ia akan menikahiku jika saja aku mau berjanji untuk memakai jilbab dengan konsisten, kalau tidak sekarang ya nanti, setelah menikah” Ujarnya dengan wajah yang sedikit bingung, sedikit merona, sedikit terlihat berpikir, dan sedikit-sedikit lainnya yang membuat wajah cantiknya agak sedikit berkerut.

“Mmm…Terus?” Tanyaku menanggapi dengan bingung.

“’Terus?’ Ini bukan hanya soal ‘terus?’ Brin! Ini soal komitmen dan prinsip hidup!” Ujarnya lagi sambil mengguncang-guncangkan bahuku. Dia memandangku, berusaha melebarkan matanya yang memang sipit. Aku membaca sorot mata ‘minta tolong’ terpancar dari matanya yang sipit.

Aku tertawa kecil, “Maksudku, terus kamu maunya gimana? Menolak menikah? Atau memakai jilbab? Lagian pakai jilbab juga nggak bikin kamu jadi jelek juga kok, Fah…” Aku meliriknya, yang dilirik cuma cemberut sambil melipat tangan di dadanya.

“Bukan itu. Tapi dengan memakai jilbab kita bertanggung jawab untuk senantiasa berbuat baik dan, mm… gimana ya? Kalau aku sih mendeskripsikannya, orang yang pakai jilbab itu orang yang benar-benar baik, dan nggak sering main kemana-mana. Sementara aku masih suka jalan ke mall. Buatku, urusan pakai-memakai jilbab itu bukan pakai jilbab yang Cuma asal lilit di kepala terus baju ala kadarnya. Soalnya itu nonsense buatku, sama aja mereka nggak pakai jilbab. Jadi, buatku kalau harus pakai jilbab ya… yang kayak ustadzah-ustadzah di pengajian contohin gitu Brin”.

Aku tersenyum manggut-manggut. Nah, itu dia tahu teorinya, tapi belum ada aksi. Bathinku.

“Briin~, komentar dong… ”, rajuknya. “Menurutmu gimana? Kamu kan udah pakai jilbab bertahun-tahun tuh…” lanjutnya.

“Menurutku, kamu istikharah dulu, minta Allah mencondongkan hatimu pada kebaikan. Ya?”
Dia terdiam. Mungkin mempertimbangkan saranku, mungkin juga memikirkan hal lain, entahlah, siapa yang tahu isi pikiran orang. Yang jelas, ketika semburat mega merah mulai menghiasi langit senja itu, aku berdo’a untuknya, semoga Allah menguatkan hatinya untuk mulai berhijab.

***
Namanya Nur Afifah, akrab dipanggil Fifah, teman seperjuanganku sejak SMA. Lulus dari SMA yang sama kemudian kuliah di universitas yang sama walaupun berbeda jurusan, lulus di waktu yang sama, dan akhirnya memilih karir di bidang yang sama, guru sekolah dasar. Seminggu yang lalu, usai hujan deras sepanjang siang, seorang pria baik-baik (aku katakan di sini ia adalah pria baik-baik karena wajahnya terlihat baik, dan begitu pula sikapnya) datang melamarnya. Terlepas dari apapun niat si pria untuk melamar Fifah (tentu saja di sampng cinta dan sebagainya), ia mengajukan satu syarat, meminta Fifah untuk berjilbab dengan konsisten.

Entah apa yang dipikirkan Fifah saat itu, yang aku tahu esoknya, setiap hari selama kurang lebih satu minggu, ia mendatangiku. Entah untuk bercerita atau hanya untuk sekadar diam sembari minum teh dan ngemil di sore hari usai kerja.

Suatu ketika dia berkata setalah keheningan yang panjang di antara kami berdua, “Shabrina, kalau orang berjilbab itu mestinya baik dulu ya… kalau orang bejat tiba-tiba pakai kerudung, nanti malah merusak nilai-nilai jilbab itu…”.

Aku tertawa kecil. “Teorinya siapa Fah?”, tanyaku. Dia terdiam, kembali menerawang.
“Fah, orang berjilbab bukan malaikat yang nggak berbuat dosa. Orang berjilbab juga punya hawa nafsu, jadi bisa aja beliau salah, termasuk juga aku. Yang membedakan orang berjilbab yang syar’i dengan yang tidak berjilbab adalah bahwa ia selalu berusaha menjadi lebih baik lagi dan lagi dengan selalu berbuat baik dan menghindari hal-hal yang buruk…”

“Selalu berusaha menjadi lebih baik…” gumamnya, berusaha memaknai kalimatku barusan.

“Dan, setiap orang punya kewajiban untuk menutup aurat, baik orang bejat ataupun orang berhati mulia-kalau kamu bilang… Kalau orang bejat nunggu baik dulu untuk pakai jilbab ya Fah… ya kapan makainya? Hidayah tuh nggak datang begitu aja, tapi perlu dijemput pakai usaha. Sama kayak jodoh Fah, jodoh di tangan Allah emang, tapi ya kalau nggak dijemput pakai usaha yaa bakalan tetap ada di tangan Allah … iya nggak? “

“Apa sih Briiiiin …” rajuknya, kemudian kita sama-sama tertawa. Ya Allah… betapa aku menyayangi Fifah, saudari seperjuanganku, maka Ya Allah … condongkanlah hatinya ke arah yang baik, kuatkan hantinya untuk berhijab.  

Langit senja itu sedikit tercampur warna keunguan, membuatnya menjadi lebih manis. Dan di bawah langit ungu itu, kami berpisah untuk hari itu, mengakhiri obrolan kami dengan senyum. Maka, semoga urusan ini bisa diakhiri dengan senyuman juga.

***
Sore itu (Aah iya, entah mengapa obrolan-obrolan ini selalu terjadi ketika petang menjelang), Fifah berkunjung ke rumah. Mau menginap katanya. Aah iya betul, esok adalah hari dimana ia harus mengambil keputusan besar yang akan mengubah hidupnya ke depannya. Menerima lamaran, atau menolaknya.

“Brin, tapi, dosa nggak sih aku kalau aku pakai jilbab karena suami, bukan karena Allah?” Tanyanya tiba-tiba saat aku kembali ke kamar dengan dua gelas teh hangat dan dua toples camilan.

“Mmmm… begini, adakalanya kita butuh keterpaksaan untuk memaksa kita untuk melakukan hal-hal yang sudah seharusnya menjadi kewajiban kita. Mungkin awalnya terpaksa, tapi, kalau dibiasakan nantinya akan menjadi sesuatu yang mendarah daging, dan jika itu adalah hal yang baik, Insya Allah, Allah akan menyelipkan keikhlasan di dalam hati kita. Sama aja kayak sholat 5 waktu. Dulu, kamu bisa rutin shalat 5 waktu gimana?”

“Disuruh-suruh terus sama Bapak Ibu. Apalagi waktu shubuh, ada kali dibangunin sampai 3-4 kali …”

“Terus sekarang?”

“Sekarang… ya nggak perlu disuruh lagi, juga kalau ninggalin shalat rasanya ada yang salah…” jawabnya hampir bergumam. Aku tersenyum.

“Yah… kurang lebih kayak gitu lah Fah…, oh iya, lagian menaati suami itu kewajiban Fah… ibadah juga. Jadi kalau kamu menaati suami kamu untuk hal-hal yang baik sekalipun itu hal kecil, Insya Allah berpahala… hehehehehehehe”

“Ooh gituu??” ujarnya dengan mata membulat. Obrolan sore itu terputus oleh adzan maghrib yang berkumandang lantang dari masjid di ujung jalan. Dan lagi-lagi langit keunguan yang tampak di atas sana. Langit yang indah ini, semoga menjadi pertanda bagi keputusan yang indah pula.

 ***

Sekitar pukul 3 sore esok harinya, Fifah pamit. Ia hendak membantu ibunya untuk mempersiapkan tamu yang akan datang menagih jawabannya nanti malam. Sebelum pulang, ia merangkulku erat, “Shabrina, terima kasih telah menguatkanku… Aku memutuskan untuk berjilbab…”

Seketika, ada gelegar kuat yang memenuhi rongga dada, berpilin, menggedor-gedor jiwa yang akhirnya memaksa keluar sejumlah air mata. Air mata bahagia… “Allahu Akbaaar…” takbirku hampir berteriak. Aku balik memeluknya, “Semoga istiqomah ya, Fah…” ucapku berkali-kali.

“Amiiinn” dan perpisahan sore itu cukup berlumuran air mata. Ya… Allah, terima kasih, terima kasih karena telah mendengar doaku, mengabulkannya, dan menguatkan hati Fifah untuk berhijab. Maka doaku kali ini, istiqomahkanlah ia, Ya Allah…

***

2 bulan setelah obrolan-obrolan panjang kami yang juga diselingi dengan keheningan yang tak kalah panjang, pernikahan Fifah dilaksanakan dengan meriah di rumahnya. Dan lihatlah betapa ia terlihat anggun dalam balutan hijab yang kini melingkupi tubuhnya. Tidak, tidak, tidak, bahkan semestinya ada kata-kata yang lebih indah dari anggun untuk mendeskripsikannya! Ah iya… dia benar-benar telah menjadi begitu cantik.

Aku tersenyum ketika mata kami saling berpandangan. “Selamat ya, Fah. Semoga menjadi keluarga yang sakinah…” ujarku.

Seketika itu pula, Fifah memelukku erat. “Terima kasih ya brin, terima kasih… terima kasih untuk semuanya” dan lagi-lagi air mata mengalir dari mata kami. Air mata bahagia mungkin, sedih juga mungkin. Entahlah, karena sesungguhnya ada kebahagiaan bersama kesedihan ada kesedihan bersama kebahagiaan. Karena keduanya saling melengkapi, sebagaimana Fifah dan suaminya. Dan kini doaku, Ya Allah, semoga keduanya bahagia…

Langit senja saat itu terlihat sangat, sangat indah. Dengan semburat mega merah, bercampur warna ungu, bercampur warna biru… dan warna indah lainnya. Ya, dan langit senja itulah yang telah menjadi saksi dari proses Fifah untuk berhijab. Dan semoga Allah menguatkan hati saudari-saudariku lainnya yang belum berhijab untuk berhijab… Amiiin…

Depok, Jawa Barat, 11 Februari 2013 pukul 1.20 WIB
A campaign for World Hijab Day, February, 14th